Lihat ke Halaman Asli

Rasyid Taufik

SINTARA Leadership

Salah Persepsi tentang Harta

Diperbarui: 15 Maret 2024   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SINTARA Leadership

Kita beli baju yang bagus. Kita beli jas yang mewah dan mahal, sepatu yang mahal, kemudian kendaraan yang mahal. Itu semuanya bakal jadi sampah. Baju bakal jadi keset. Sarung yang mahal sekelas tamer dan BHS bakal jadi keset. Kemudian makanan yang begitu mewah, mahal yang kita makan bakal jadi apa? Bakal jadi sampah juga masuknya ke sepiteng. Berarti bukan punya kita itu. Yang punya kita yang mana? Yang menjadi punya kita, yang menjadi milik kita yang sudah jelas-jelas bakal balik ke kita adalah yang sudah kita infakkan. Itu yang bakalan jadi punya kita.

Sekarang kita tanya sama diri kita, harta kita kira-kira yang bakal balik ke kita lebih sedikit apa lebih banyak? Banda kita yang bakal balik ke kita itu lebih sedikit apa lebih banyak? Contoh saat tarawih atau jumatan, duit yang kita bawa itu yang paling gede apa yang paling kecil? Seandainya di kantong kita ada sepuluh, dua puluh, lima puluh, seratus ribu, kira-kira yang kita masukin ke tromol itu yang mana?

Berarti nanti apa yang kita dapatkan di akhirat itu sebetulnya bukan Allah yang nentuin tapi kita. Jadi Allah tidak nentuin ini bagian mu. Ngga. Yang menentukan apa yang nanti kita dapatkan di akhirat itu sebetulnya sekarang, kita ini. Itulah yang kemudian addunya mazroatul akhiroh. Bahwa dunia adalah ladang akhirat mu. Tergantung kamu sekarang nanemnya apa. Kalau rajin nanem ya rajin metik nanti disana. Jadi apa yang bakal kita dapatkan surgakah itu atau nerakakah itu sebetulnya bukan Allah yang ngasih kita. Kita sendiri yang menentukan.

Makanya harta kita yang kembali kepada kita lebih banyak apa lebih sedikit? Ngeliat kasus tadi, sholat jumat tromol lewat yang kita masukin yang sepuluh apa yang cepean? Berarti lemes kita jawabnya. Ternyata yang bakal balik ke kita lebih sedikit daripada yang kagak balik. Kita yang menentukan itu sebetulnya. Makanya tergantung sama kita nanti.

Kadang kan kita merasa bahwa Wailul likulli humazatil-lumazah. Alladzi jama'a malaw wa 'addadah. Yahsabu anna malah akhladah. Dia menganggap harta bisa mengekalkan dia. Makanya dia berupaya bagaimana memperbanyak harta biar hidupnya kekal. Itu yang dianggap oleh kita. Wailul likulli humazatil-lumazah. Alladzi jama'a malaw wa 'addadah. Yang selalu saja ngitung-ngitung. Punya gua ini. Punya gua ini. Ono punya gua. Kontrakan pasar punya gua. Ruko punya gua. Ini punya gua. Yang di sono, prapatan punya gua. Itu aja terus kita hitungin. Alladzi jama'a malaw wa 'addadah. Di bank ini duit gua sekian. Disini sekian. Disini sekian. Terus aja kayak gitu.

Itu kenapa dilakukan? Dia merasa kekekalan hidupnya tergantung dari berapa banyak harta yang dia punya. Padahal lagi-lagi salah. Jadi janganlah hidup kita ini salah persepsi. Bahwa harta kita bukan yang kita pegang yang kita punya sekarang bahwa harta kita yang sebenarnya adalah yang kagak ada sama kita sekarang. Yang kita ngga pegang sekarang. Yang kita keluarkan infakkan itu adalah harta kita yang sebenarnya.

Jadi Allah tidak nentuin ini bagian mu. Ngga. Yang menentukan apa yang nanti kita dapatkan di akhirat itu sebetulnya sekarang, kita ini. Itulah yang kemudian addunya mazroatul akhiroh. Bahwa dunia adalah ladang akhiratmu. Tergantung kamu sekarang nanemnya apa. Kalau rajin nanem ya rajin metik nanti disana. Jadi apa yang bakal kita dapatkan surgakah itu atau nerakakah itu sebetulnya bukan Allah yang ngasih kita. Kita sendiri yang menentukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline