Tak dapat dipungkiri, sudah suatu hubungan yang melekat antara pemerintah dan masyarakat. Masyarakat sebagai pelaku kegiatan ekonomi di sebuah negara sudah semestinya membutuhkan keamanan, kemudahan, serta fasilitas lain demi kelancaran kegiatan perekonomiannya. Sehingga di sisi lain, ada sebuah harga yang harus dikeluarkan olehnya kepada pemerintah selaku penyedia fasilitas dan penyelenggara kenegaraan.
Biaya yang dikeluarkan ini disebut pajak dan masyarakat sebagai pembayarnya disebut sebagai wajib pajak. Pajak, sebagai sumber penerimaan paling utama bagi negara, harus terus dioptimalkan dan ditingkatkan efektivitas dan efisiensinya. Hal ini dikarenakan pajak sangat berpengaruh terhadap pembangunan nasional yang pada akhirrnya juga bertujuan untuk menyejahterakan seluruh masyarakat Indonesia sebagai wajib pajak.
Inilah alasan utama mengapa peranan aktif masyarakat sangat dibutuhkan dan harus adanya peningkatan pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perudangan-undangan perpajakan.
Namun aktivitas ekonomi global yang telah menciptakan serangkaian pasar bebas, menjadi celah dan kesempatan bagi wajib pajak untuk menghindari pajak. Tentu penghindaran pajak ini memiki dampak buruk bagi negara. Oleh sebabnya. Di sinilah urgensi pencegahan penghindaran pajak yang tentunya harus melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, private sector, sampai ke wajib pajak itu sendiri.
Emang nya apa dampak penghindaran pajak?
Sekarang mari kita tinjau lagi seberapa besar dampak penghindaran pajak bagi penerimaan negara. Berdasarkan data yang dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, pendapatan negara pada tahun 2019 mencapai 2.165,1 Triliun dengan rincian penerimaan dari perpajakan sebesar 82,5%, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 17,5%, dan terakhir Penerimaan Hibah sebesar 0,4%. dari informasi ini kita dapat menyimpulkan bahwa penerimaan pajak merupakan unsur yang ssangat fundamental dalam penerimaan negara.
Kemudian bagaimana target dan realisasi perpajakan tiap tahunnya di Indonesia? Tahun 2013 mencapai 92,56%, tahun 2014 capaian realisasi perpajakan sebesar 91,56%, tahun 2015 sebesar 81,96%, tahun 2016 sebesar 81,59%, tahun 2017 sebesar 89,68%, dan juli pada tahun 2018 sebesar 48,26%.
Terlihat bahwa kenaikan persentase realisasi hanya terjadi dari tahun 2016 ke tahun 2017 dan selebihnya realisasi semakin turun. Artinya, ada persoalan yang harus diselesaikan untuk mengatasi permasalahan ini.
Tingkat kepatuhan wajib pajak berkaitan langsung dengan bagaimana motivasinya dalam membayar pajak. Jika rendah, maka sangat memungkinkan bagi wajib pajak tersebut untuk menghindari pajak. Sebaliknya, kepatuhan pajak yang tinggi meningkatkan peluang realisasi pajak yang lebih tinggi pula.
Faktor lain penyebab penghindaran pajak di antaranya sumber daya manusia dalam bidang perpajakan masih belum secara maksimal memahami bagaimana menghadapi penghindaran pajak, pengawasan maupun pemeriksaan yang rendah integritas, Loopholes (celah hukum) pada peraturan perundang-undangan perpajakan.