Lihat ke Halaman Asli

Menjemput Setapak Mimpi

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Semua yang medengar isak tangisku menjadi saksi hidup seorang lelatu yang ingin melebur dalam menisnya maduilmu

Jauh sebelum UAN tiba, satu hal yang selalu kukatakan pada ibu, bapak dan juga pada kakak;akuingin melanjutkan pencarian ilmuke salah satu Universitas Yogyakarta. Impian ini kutanam sejak menginjakkan kaki di bangku SMA. Sebuah mimpi yang sulit untuk dicapai oleh seorang sepertiku.

“Bapak, Ibu. Boleh aku mengatakan sesuatu?” sapaku disuatu sore yang merah jambu. Aku menyapanya dengan pelan. Sepelan-pelannya, menahan gemuruh nesta pada diri. Tak ingin ada salah dari kata yang keluar.Senja remang, menyunggingkan senyum manja pada malam. Ibu seorang diri menyaksikan temaram menggeliang.

“Ya, boleh. Hal apa yang ingin kamu katakan, Nak?”Ibu menjawab, mendongakkan kepalanya, bersih wajahnya tanpak di mataku. Seakan-akan ia tahu apa yang akan kutakan. “Kalau nanti aku sudah lulus di MA Tahfidh, aku mau melanjutkan ke Yogyakarta. Boleh, kan?” Kutatap mata ibu rapat-rapat. Ada keharuan yang mengkristal hingga tak bisa kumaknai. Aku hanya mampu bertanya-tanya di kedalam hati. Tatapannya mengeksikusiku dalam diam, menyuruhku menutup mulut. Sepertinya ia takut ada perih dari dari kata yang terungkap.

Semakin lama ibu diam, semakin dalam risau atas jawab yang hendak keluar. Dan aku terus saja menunggu, layaknya seorang tahanan yang menunggu vonis hukuman. Cahaya menguning di langit barat kian mendasar hingga benar-benar hilang, bersama awan-awan menyambut kehadiran bintang. Tapi tetap saja, isyarat mata adalah bahasa terindah waktu itu. Ibu cukup dengan memandang mampu mengantarkanku pada angan yang petang.

Semenjak hari itu, aku tak lagi mengungkit impian masa depan. Takut air mata membawaku pada muara kepedihan ibu. Kujalani hari-hari sediakala diantara pahit dan manis kehidupan. Bagiku keduanya setara, tak ada yang berbeda. Dan selama itu pula, pahit memenjarakankuyang tak sempat memikirkan salah benarnya hidup, yang kutahu hanya pahit danmanisnya perjuangan. Perjuangan menghapus impian yang sempat kusulam dan harus tertelan kelam ketika mentari petang. Perjuangan melawan gemuruh syurga yang akhirnya roboh dan pupus seketika. Dan perjuangan membendung kata untuk ibu yang kucinta.

Hingga pada suatu pagi, mentari masih indah bermekaran dibebunga taman. Waktu itu sudah kelas tiga menjelang kelulusan. Seperti tempo dulu, kuhampiri ibu yang sedang memegang sapu lidih, menggiring serakan dedaunan di halaman rumah. Tanah yang dilewati menimbulkan goresan-goresan kecil seperti sengaja dituliskan, begitu teratur diantara garis-garis yang berliku.Terlintas di benakku, mungkin seperti inilah hidup, manusia mempunyai jalan sendiri-sendiri sesuai tempat yang dimintanya pada Tuhan dan smuanya pasti ada liku yang menghambat. Jelas, tak satupun yang lurus. Dan terkadang banyak benjolan-benjolan batu di tengahnya. Sisa goresan sapu lidi itu mengingatkanku pada gelombang laut yang tak henti-henti menghujam perahu di atasnya.

“Bu!” aku menyapanya. Ia tak menoleh, apalagi menatapku seperti tempo dulu.”Ya, ada apa?” pandangannya masih terfokus pada daun-daun yang dijatuhkan angin malam. “Aku boleh kan, sekolah ke Yogyakarta?” sangat pelan, lebih pelan dari yang dahalu, bahkan sertakan kepala menunduk. Ia hanya menghela nafas, tak sehuruf pun jawaban yang datang. Aku terus sajaterdiam dan menunggu sepatah kata dari ibu. Di wajahnya makin tanpak goresan-goresan instrumen ketuan. Aku tak berdaya berada dalam pandangannya yang hanya sekejab, kulihat Tuhan murka di sudut matanya, sebab seorang anak menusukkan duka dengan kata-katanya. Ia pun tetap setia menggiring sampah-sampah itu ketepian halaman.

Sekitar satu jam lebih aku menunggu tanpa suara, ibu telah selesai menyingkirkan kotoran-kotoran itu ke bak sampah. Ibu berjalan, menuju tempatku terdiam dan membisu. Kemudian duduk dan letakkan sapu. Matanya dekat sekali menatapku.

“Nak! ibu bukan tidak mengijinkanmu kuliah di Yogyakarta atau kemanapun. Bahkan, ibu sangat ingin kamu bisa kuliah ke sekolah tinggi yang paling terkenal. Dimana itu? Aku ingin kamu tidak seperti kami yangtak tentu arah, tak tahu apa-apa dan pontang panting, banting tulang untuk sekedarmakan dan membiayai sekolahmu. Aku ingin kamu sukses, Nak! Seperti orang-orang jauh di sana.Tapi, bukannya kamu sudah tahu bagaimana keadaan bapakmu. Ia, sekarang tidak seperti dulu yang selalu bisa menjawab rintihan dan memanjakanmu” Kulihat mata ibu sembab dan berlinang oleh butiran-butiran mutiara yang mahal. Rupanya ia menangis, sambil mengusap-ngusap pedih di kepala. Hangat kasihnya menenggelamkanku dalam pelukan ibu. Merenungi tempat pendewasaanku.

Kurasakan kehanga dipeluknya, air matanya menjatuhi kepalaku satu persatu. Ibu memeluk erat, betapa kutakingin singgah ke tempat lain. Aku terbawa pada kasih sayang terdalam dan tertinggi yang pernah kujumpai. Sebongkah kasih yang nihil kubalas semuanya. Jika ada hutang yang tak terbayar di dunia ini, hanya hutangku padamu wahai ibu. Sungguh, karena kasihnya hidupku hidup ini menawarkan beribu-ribu rona.

Sembari sesegukan,Ibu meneruskan kata-katanya setelah lama melebur dalam suara isak “Nak, bapakmu sekarang sudah tidak bisa menjadi punggung keluarga, ia tidak bisa mencari uang lagi. Kamu tahu kan, syaraf matanya terputus sejak ia tabrakan dulu. Penyakit itu, sampai sekarang semakin parah. Jika hanya Ibu yang bekerja, bagaimana bisa membiayai kuliahmu. Bukankah itu butuh biaya mahal, Nak? Bukannya Ibu psimis dengan skanario Tuhan, tapi alurnya yang telah menuntut demikian. Biarlah nak! kisahmu baru dimulai dan semoga usaihappy ending dengan usaha dan doaku” Katanya terbata-bata. Meneguhkan hatiku yang buram, terang kata-katanya sekan skuad yang mendorngku tanpa beban.

Rupanya bukan hanya aku yang inginkan itu. Ibu juga punya keinginan yang sama. Haru pikiranku. Sayang, impian itu harus terpenggal oleh kondisi Bapak yang tak bisa bekerja. Dulu, Bapakku sebagai tokang renovasi gedung, tepatnya dalam memperbaiki cat rumah yang upahnya tak seberapa, berkisar Rp. 30.000, itupun belum tentu setiap hari, tergantung sama orang-orang yang menyeruhnya. Dengan uang Rp. 30.000 itu lah bapak menghidupi ibu, kakak dan aku yang sangat membutuhkan jerih payahnya. Yang sering memanjakan diri padanya tanpa tahu luka yang menggores dada Bapak dan Ibu. Dan mereka sama sekali gak mengeluh, ataupun menyuguhkan kata-kata kasar. Mereka memenuhi segala ucap yang tak terpikir.

Tapi kini, semuanya telah berubah. Bapak tidak bisa memanjakanku lagi. Kejadian tragis menghapus mimpi lalu. Keadaan ini mengingatkanku pada awal penyakit Bapak. Waktu itu aku masih kelas tiga MTs I Annuqayah, kejadian buruk terjadi pada bapak. Ia tabrakan sewaktu datang dari ngoli. Dan yang lebih miris, syaraf matanya tak bisa ditolong. Bermula dari peristiwa itu kehidupan kami perlahan berubah, walaupun dulu kami tidak kaya, setidaknya untuk makan tidak susah.

Lalu siapa yang patut di salahkan? Aku, bapak atau Tuhan? Menyalahkan diri sendiri sepertinya tidak logis, ketika dibenturkan pada kebutuhan dan kewajiban. Menyalahkan Bapak juga tidak benar, bukankah ia sangat inginkan aku melanjutkan sekolah? Menginginkan aku terbenam dalam angan bersama memoar senja. Hanya karena faktor musibah yang tak disengaja, menjadikan ia tidak bisa menendang karang asa.Ingin menyalahkan Tuhan, tapi aku tidak tahu rahasia apa yang Tuhan rencanakan dari semua peristiwa yang ia turunkan. Lalu siapa yang salah? Merekakah yang mengadakan sekolahan?Hingga mesti ada harap melanjutkan pendidikan? Aku tidak menemukan jawaban pasti dari problem dialektik kehidupan tersebut. Terus berputar dan saling menyelahkan. Hingga dunia bosan berotasi.

Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui hari-hariku, aku yang terus mencari jawaban terkadang semua orang kusalahkan, bahkan Tuhan pun salah karena menciptakan dunia dan seisinya. Kenapa harus ada aku dan Tuhan? Semuanya menggelinjang dalam tubuhku bersama putaran tanya karena duka, karena mimpi yang kian melupa. Sebab, harap tertuang sia-sia.

JJJJ

Secercah harapan mulai kugenggam, setelah Wali Kelas memintaku untuk ikut seleksi beasiswabidik misi di salah satu Perguruan Tinggi yang diinginkan. Katanya, dari sekian banyaksiswa di MA Tahfidh Annuqayah hanya ada 20 siswa yang berhak mengikuti seleksi beasiswa tersebut, dan aku termasuk salah satunya. Sungguh tak menyangka aku masuk didalamnya, mungkin ini anugrah Tuhan. Benakku memuji Tuhan. Selama ini tak pernah terlintas dibayangku akan masuk dalam hitungan penerima beasiswa itu. Prestasi yang kupunya tidak seberapa, sedangkan teman-temanku banyak yang berprestasi juga. Entahlah, ini rahasia Tuhan, mungkin ini juga karena posisi yang kupegang di sekolah. Sehingga pihak mau sekolah memilih aku.

Kami (siswa yang mendapatkan kesempatan ikut bidik misi) di perintahkan untuk segera mempersiapkan segala persyaratan administarasinya seperti SKTM (Surat Keterangan Tanda Miskin), Sertifikat dan lain sebagainya.Persyaratan-persyaratan itu tidaklah sulit bagiku, SKTM pasti gampang diperoleh. Siapa yang tidak tahu keadaanku. Begitu juga dengan sertifikat, walau tidak punya banyak sertifikat, setidaknya sudah memenuhi syarat. Layaknya sertifikat Pemred Majalah Sekolah, sertifikat lomba tingkat Kabupaten dan Provensi. Cukup untuk menopang nilaiku yang hanya di peringkat 5 dan 4.

Sejak masih di MTs aku selalu ada di posisi 4 dan 5, tidak pernah mendapatkan rangking pertama apalagi tauladan. Padahal aku sangat menginginkannya. Maklumlah, rata-rata yang sekolah di sana adalahLora (putra kiai) walau sebenarnya kecerdasan tidak identik dengan keturunan siapa pun.

Kita di suruh memilih salah satu universitas di Indonesia. Ada banyak ragam universitas yang jadi pilihan mereka. sontak, saat aku disuruh memilih, tak urung aku mengambil Yogyakarta sebagai pilihan, pilihan ini terinspirasi dari kakak-kakak kelasku yang melanjutkan ke Yogyakarta. Mereka banyak yang menuai berhasil menjadi perhitungan orang-orang di sekitarnya. Seperti kak Muhammad Alfayadl (esais dan penulis buku Derrida) kak Ahmad Fawaid, kak Bernando J. Sujipto dan yang lainnya. Setelah kupikirkan, UIN Suka menempati ruang pertama. Di samping karena nuansa keagamaan juga ada banyak teman yang sudah kukenal sejak di pondok.

Kabar gembira ini tentunya akan kuceritakan pada ibu dan bapak. Setidaknya sedikit menebus luka yang tergores karenaku. Aku bisa kuliah tanpa biaya dari mereka. Aku mendapat kesempatan untuk ikut seleksi bidik misi. “Bu, mana bapak dan kakak?” kutarik bibirku sedikit ke samping.Ini kegembiraan yang tak dapat kugambarkan. Aku ingin membaginya dengan keluarga.

“Itu, bapakmu ada di sumur, kakak-kakakmu di kamarnya mungkin” ia terlihat sedang khusuk menjahit baju Bapak yang bolong, suaranya datar, mungkin ia tak ingin di ganggu. Kupanggil mereka untuk berkumpul di amperan rumah. Aku bilang pada mereka, Insya Allah kalau lulus seleksi aku akan kuliah di Yogyakarta tanpa menyusahkan mereka. Ibu yang sedari tadi fokus pada kerjaannya, tiba-tiba kepalanya mendongak memandangku penuh haru. Ada sebersit silau dalam pandangannya.

“Alhamdulillah” hampir serentak mereka mengucapkan. “Kami senang mendengarnya”imbuh Kakakku. Aku melihat kebahagian itu di setiap guratan wajah-wajah mereka. Mereka menaruh harap besar padaku, mengharapkanku agar bisa membahagiakan sanak saudara. Maklum, dalam keluarga kecilku itu hanya aku seorang yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Bapak sekalipun pernah mondok, pendidikan sekolahnya hanya tingkat SR (sekolah rakyat) itupun tak berijazah. Apalagi ibu, dia sama sekali tak sekolah, Cuma sekdar ngaji di mushalla dekat rumah. Sementara saudara perempuanku, dia menikah pas ketika kelas VI SD. Mengikuti adat di desaku. Untung sekarang budaya seperti itu sudah jarang terlihat.

JJJJ

Tapi, lagi-lagi aku menelan ludah paksa, pahit rasanya. Serasa tercekik. Sebab, kebahagian itu tak berlangsung lama. Tak satu pun dari sekolahku yang lulus dalam seleksi itu. Katanya, ini ada kelasahan teknis saat memilih jalur dalam bidik misi. Kekeliruan kecil yang berakibat besar dan mematahkan impian. Terutama bagi orang yang benar-benar tak punya biaya untuk kuliah seperti aku. Langit mendung, sebentar lagi ia akan mengiringi tangisku membasahi bumi. Mengalirkan semua kisah-kisah cemerlang, mencari tempat genangan untuk menampung keluh kesah.

Takut sedih yang menggumpal kembali mengarungi Ibu dan Bapak. Aku bimbang antara mengabarkan dan menyimpan perih sendiri dalam-dalam. Namun, bagaimanapun juga, aku harus jujur pada mereka. benar, setlah itu kegundahan yang mengundang air mata menyelimuti seisi rumah. Aku ingin kesedihan yang bertubi-tubi ini segera berahit. Aku yakin, pasti ada jalan yang bisa mengantarkan aku menemui impian yang selalu terpenggal. Hanya saja, aku selalu gagal menempuh jalan-jalan yang kupilih.Tapi, Semua cara akan kulakukan, asal mimpi itu menjadi nyata. Aku ingin membuktikan pada dunia bukan hanya oran-orang kaya yang bisa kuliah, tapi aku—kami yang untuk makan harus berkeringat biru juga bisa kuliah. Juga bisa mengenyam manisnya ilmu layaknya mereka yang kaya.

Tetap pada prinsip awal aku tidak akan meminta biaya sama mereka, bagaimana pun keadaannya, apa yang mereka berikan padaku telah cukup banyak. Aku tak ingin terus menambah hutang, dan balas budi yang semuanya tak kan mampu kubalas. Saatnya aku harus turun, membaurkan diri ditengah gersangnya kehidupan. Tekad ini kutakan pada Ibu dan Bapak. Kembali kulihat matanya penuh air bening nan halus melebihi malaikat siap jatuh berayun. Aku hanya minta do’a dan restu untuk melepasku kuliah dengan mengembara.

Semua biaya pendaftaran sampai regestrasi telah lunas, dengan uang yang kupinjam dari orang yang pernah mengasuh bapak waktu kecil. Entah, aku kapan bisa membayarnya. Untungnya, tidak ada batas waktu kapan aku harus mengembalikan. Aku sangat berterima kasih padanya.

JJJJ

Malam yang dingin, suara gemuruh angin menyesakkan rongga-rongga telinga yang mendengar malam itu. Langit terlihat cerah, menampakkan bulan di samping awan kuning kejinggahan. Suara-suara binatang malam terdengar samar. Tapi mereka juga menjadi saksi keberangkatanku yang diiringi isak tangis. Derap langkahku, selangkah lebih lambat dari semut yang ikut berbaris melepas kepergianku.

Di kamarku yang remang dengan cahaya lampu dop, sarat suara sarak dan sesegukan tangis. Entah, sudah berapa banyak air mata yang melimpah. Ibu, Bapak, dan sebagian famili-familiku menyumbang tangis di kamar yang kecil dan sempit itu. Sungguh, tak ada tangis yang diinginkan.

Aku dipeluk, di rangkul dan di ciumi oleh mereka.Di sela-sela tangis yang menggema dari setiap rongga adalah jelma kehawatiran danketakutan pada hidupku yang akan terlantar di jalanan. Macam-macam pikiran mereka melayang, tentang aku yang kelaparan ataupun menjadi gelandangan dan putus sekolah. Semua itu tertuang dari ekspresi mereka yang merah buram. Aku tahu, menjalani hidup di wilayah orang memang tidak mudah, tapi dari semua itu setidaknya aku bisa banyak belajar. Ada satu pesan ibu yang sampai sekarang masih mendengung di benakku.Tergiang, menjadi tonggak kehidupan masa depanku.

“Melangkahlah nak, dengan selalu mengingat Ibu, Bapak dan saudara-saudaramu, janganlah kamu sombong atau membenci orang-orang yang ada disekitarmu dan jangan lupa sebut nama Tuhan dimana dan bagaimana pun keadaanmu saat itu berhenti sejenak “Nak, ini ada uang hasil dari sumbangan famili-familimu. Ibu tidak punya apa-apa yang ingin dikirimkan padamu nanti, ibu hanya punya do’a yang tak kan pernah terputus” imbuhnya, isak tangis semakin menderam.Seketika aku memeluk ibu erat, air mata membanjir. Semua yang medengar isak tangisku menjadi saksi hidup seorang miskin yang ingin sekolah. Seorang lelatu dengan segumpal do’a Ibu akan berjalan, mengembara, mencari hidup dengan manisnya ilmu.

Lambaian tangan membuntuti kepergianku, samar-samar kulihat mereka memaksa matanya beradu pandang denganku. Sayang, kini jarak telah membawaku jauh terpisah. Mereka telah mengantarku dengan rasa yang asa. Di sepanjang perjalanan selalu tergiang wajah-wajah santun mereka dibutiran air mata. Air mata yang sangat berharga bagi hidupku, mereka adalah power terbesar yang bisa memotivasi tanpa kata.

Aku menangis, memandangi bulan dan bintang-bintang yang bersembunyi dibalik awan. Seakan-akan mereka mengisahkan sembilu yang mencabik-cabik tubuhku.Orang-orang di sampingku, menggerutu, kadang terdengar suara mengucap kasian pada aku yang terbawa cahaya bulan.

JJJJ

Beberapa bulan hidup di Yogyakarta, dengan tetap pada prinsip awal, aku tidak meminta biaya pada keluarga. Memegang penuh janjiku yang lama. Hidup tersenyum dalam tangis, seperti itulah hidupku. Merenungi masa depan yang temaram, mengharap terang kan segera datang.

Di sela-sela tak ada kuliah terkadang kusempatkan untuk menulis dan dikirimkan ke media. Inilah satu-satunya kerjaan yang bisa kulakukan. Bebera kali ngirim belum juga ada tangggapan dari para redaktur media. Soal makan, aku sudah terbiasa makan satu kali, bahkan hanya makan gorengan untuk sekedar mempertebal perut. Tiga bulan lamanya tulisanku baru di muat itu pun hanya di media-media kecil. Alhamdulillah honornya cukup untuk makan, selama satu bulan.

Selain itu, aku juga mencari info beasiswa. Kalau bertemu dengan kakak-kakak senior aku selalu bertanya-tanya tentang beasiswa. Kata mereka biasanya kalau ada beasiswa di infokan di papan pengumuman. Kalau ada aku tak mau ketinggalan, juga mau ikut, biar tidak selalu sengsara.Gumamku dengan semangat. Mengingat hidup semakin menipis.

Tak lama kemudian aku mendengar ada info dari salah satu teman kelasku, beasiswa bidik misi 2011 koutanya kurang 50 orang. Ini kesempatan baik untuk mengajukan diri. Tapi masalahnya, yang 50 orang itu di panggil langsung oleh pihak kampus. Sementara aku tidak! Kenapa bukan aku yang panggil? Tanyaku dalam hati, iri pada mereka. Apa karena mereka pintar?Aku rasa tidak, mereka juga tidak begitu pintar. Mereka biasa-biasa saja, aku tak tahu sebab apa mereka terpilih sebagai penerima bidik misi. Jika dari data diri mahasiswa, aku juga jelas tertera sebagai golongan miskin.

Saat itu, kebingungan dan rasa iri membayangiku. Bahkan kemarahan pada Tuhan pun kembali merayu. Tiada jalan lain bagiku, kecuali mendatangi Pr 3 selaku pihak yang menangani masalah beasiswa. Kudatangi ke ruangannya, dengan harapan bisa ikut seleksi bidik misi. Di ruangan itu, beragam pertanyaan mencerucut dari Pr 3. Pokoknya 5W 1H selesai semua. Layaknya orang yang akan di eksikusi. Andai tidak di terima mungkin aku akan bersujud di hadapannya. Dan bilang padanya bahwa aku benar-benar orang tidak punya yang berharap tenggelam dalam lautan madu ilmu.

Di ruangan yang penuh AC (air Cord) dan bersih, serta dokumen-dokumen yang tak kutahu berisi apa berarak di lemari pas di belakang bapak Pr 3. Semua itu akan menjadi saksi bisu bagaimana aku di sergap cemas dan was-was. Setelah lama terdiam usai menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pr 3 menyodorkan formulir seleksi bidik misi serta juga formulir Bank BRI. Pertanda bahwa aku mempunyai kesempatan untuk ikut seleksi bidik misi.

Dingin AC (air Cord) tidak lagi kurasakan, berganti kehangatan yang datang tanpa pemberitahuan. Beribu angan tumbuh kembali setalah lama terpenggal. Pikirku berkelana menjemput setapak mimpi yang pernah tenggelam. Jalan membahagiakan orang tua setidaknya akan mulus dengan memperoleh beasiswa ini. Kulihat sekitar buram, bercabang tak beraturan dan bergerak semua ternyata mataku berlinang. Kucium punggung tangan Pr3 sembari ucapan terima kasih yang tak henti-henti.

Mimpiku lahir kembali setelah bumi menguburnya. Lahir sebagai permaisuri yang akan menghapus peluh biru. Datang untuk meluruskan jalanku yang sempat berliku dan berlubang-lubang di pinggirannya. Terima kasih Tuhan, terima kasih telah Kau idizinkan aku menjemput mimpi masa lalu yang tak henti kukejar. Kini Kau hadirkan kembali mimpiku yang terpenggal. Terima kasih ibu, terima kasih bapak dan terima kasih semuanya atas do’a yang kalian suguhkan. Meski setitik pun tak ada hal yang kuhaturkan pada kalian, janganlah sekali-kali mengutukku hingga hanyut dalam mimpi yang keruh.

Tukang

Bekerja untuk orang yang menyuruhnya

Panggilan untuk putra kiai, seperti Gus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline