Lihat ke Halaman Asli

Dilema Jokowi, Antara BBM dan Elektabilitas

Diperbarui: 11 Oktober 2018   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com

Calon Presiden Petahana, Joko Widodo menunda kenaikan BBM jenis premium. Setelah diumumkan Menteri ESDM Ignasius Jonan di kawasan Nusa Dua, Bali hari Rabu (10/10/2018) mengenai kenaikan BBM jenis premium sebesar 7% yang rencananya akan resmi naik pada pukul 18.00, tidak sampai satu jam, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengumumkan penundaan kenaikan harga BBM, penundaan kenaikan ini "Sesuai arahan Bapak Presiden" tutur Agung di Jakarta.

Pemerintah rencananya menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium untuk 3 wilayah yaitu Jawa, Madura dan Bali (Jamali) yang akan dipatok menjadi Rp 7.000 per liter. Sedangkan diluar wilayah tersebut, harga BBM jenis premium tersebut akan dibandrol seharga Rp 6.900 per liter.

Sebelumnya, pemerintah sudah menaikan harga BBM nonsubsidi jenis Pertamax Series dan Dex Series, serta Biosolar Non PSO efektif mulai hari Rabu (10/10/2018) pukul 11.00 di seluruh Provinsi di Indonesia (tidak berlaku sementara untuk Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah).

Kenaikan harga BBM dianggap menjadi cara paling efektif untuk menstabilkan nilai rupiah ditengah menguatnya dolar Amerika serta untuk menekan defisit neraca anggaran, terutama karena cadangan devisa sudah terkuras banyak. Diluar itu, harga minyak mentah dunia yang saat ini sudah mencapai 80 dolar Amerika per barel ditengarai menjadi alasan utama mengapa pemerintah harus menaikan harga BBM. PT Pertamina (Persero) selaku badan usaha milik negara melakukan penyesuaian untuk kenaikan harga sesuai dengan aturan pada Permen ESDM No. 34 tahun 2018 Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 39 Tahun 2014, Tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM.

Antara menyelamatkan ekonomi dan elektabilitas

Memasuki masa kampanye, sebagai petahana Joko Widodo harus dengan sigap menghadapi fluktuatifnya ekonomi global yang dapat mempengaruhi ekonomi dalam negeri. Melambungnya harga minyak mentah dunia serta melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika yang telah menyentuh Rp 15.200 menjadi pertimbangan kuat untuk pemerintah menaikan harga BBM. Terutamanya dikarenakan impor migas yang tinggi menjadi faktor utama yang menekan nilai rupiah terus merosot dikarenakan defisit perdagangan yang terus membesar. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), defisit perdagangan di sektor migas sepanjang Agustus 2018 lalu mencapai US$1,66 miliar, membengkak dari periode Agustus 2017  yang hanya sebesar US$0,66 miliar.

Namun, ditundanya kenaikan BBM jenis premium membuat publik bertanya-tanya mengenai tidak sinkronnya kebijakan yang terjadi di lembaga pemerintahan sekelas Kementerian EDSM.

Berbagai kalangan berpendapat bahwa ditundanya kenaikan BBM jenis premium yang diputuskan oleh Presiden Joko Widodo merupakan salah satu cara beliau untuk menyelamatkan elektabilitasnya. Walaupun menurut survey  Lingkaran Survei Indikator (LSI) Denny JA pada Agustus 2018 elektabilitas pasangan Joko Widodo-K.H Ma'ruf Amin unggul telak dengan 52,2% berbanding dengan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang memperoleh elektabilitas sebesar 29,5%, menaikan harga BBM terutamanya jenis premium diduga akan membuat elektabilitas Joko Widodo tergerus, apalagi pada awal 2018 pemerintah berjanji tidak akan menaikan harga BBM sampai 2019.

Bukan cara baru untuk para petahana yang akan berkontestasi dalam Pemilihan Umum berikutnya dalam hal menaikturunkan BBM dengan tujuan mencari aman agar dukungan tidak menyusut. Presiden ke 6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang selama masa pemerintahannya telah melakukan tujuh kali kenaikan harga BBM, pada tahun 2009 lalu justru mengumumkan sendiri penurunan harga BBM. Langkah ini merupakan langkah sistematis untuk menggaet para pemilih. Karena BBM dianggap menjadi "central focus" sebagai gambaran berjalannya ekonomi.

Pemerintahan Joko Widodo paham betul bahwa dengan menaikan harga BBM akan menjadi komoditas politik panas yang akan dipertikaikan oleh kubu rival. Joko Widodo juga paham bahwa dengan menaikan harga BBM, utamanya jenis premium yang nonsubsidi, citra populisme yang selama ini ia raih dapat menurunkan elektabilitasnya. Tetapi pemerintah juga seharusnya paham, bahwa kondisi ekonomi global khususnya harga minyak mentah dunia yang sedang naik sampai 25% perlu diambil tindakan khusus, mengingat disparitas antara harga minyak dunia dan BBM yang dijual jauh berbeda.

Politik dan ekonomi memang selalu berjalan beriringan, di negara berkembang seperti Indonesia, ekonomi selalu menjadi fokus utama masyarakat untuk memilih pemimpinnya. Dengan kenaikan harga BBM, inflasi dan kenaikan harga tidak akan dapat terelakkan, tetapi dengan perhitungan dan koordinasi antar lembaga, baiknya pemerintah mengesampingkan elektabilitas demi pemulihan ekonomi nasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline