Political dynasties distort governance, and make a sham of democratic governance. When family member from a single clan dominate position in a particular area, we can expect the weakening of checks and balances. - Virgilio Gundayao
Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono kian membuktikan keseriusannya di dunia politik. Menjabat sebagai Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203/Arya Kemuning (AK) sebagai karir terakhirnya di militer, Agus memilih keluar dan berkecimpung di dunia politik mengikuti langkah sang ayah dan adiknya Edhie Baskoro Yudhoyono yang telah lebih lama berkiprah di panggung politik.
Dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional untuk maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta di tahun 2017, Agus yang berpasangan dengan Sylviana Murni hanya memperoleh dukungan sebesar 17,06% berdasarkan hitungan Real Count KPU. Naas, pasangan ini kalah telak dengan hasil berbeda jauh dengan dua pasangan lainnya.
Keikutsertaan Agus dalam dunia politik, terutama langkah besarnya untuk mengundurkan diri dari TNI dianggap banyak pihak tidak lepas dari peran sang Ayah. Lepas dari kekalahan di Pilkada DKI, Agus mendirikan The Yudhoyono Institute, lembaga riset yang menempatkan dirinya sebagai Direktur Eksekutif.
Beberapa bulan setelahnya, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengukuhkan Agus sebagai Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) untuk Pemilukada 2018 dan Pilpres 2019. Didapuk sebagai Komandan Satuan Tugas Bersama, Agus menjalani safari politiknya ke beberapa daerah untuk mengkampanyekan visi dan misi Partai Demokrat.
Bagi sebagian kalangan, Agus dianggap belum matang dan terlalu memaksakan diri untuk masuk ke gelanggang politik. Keterlibatan SBY juga dianggap sebagai faktor utama agar Dinasti Cikeas dapat memegang kekuasaan. SBY pun menampik, ia menangkis kabar tersebut dan memberikan pernyataan bahwa masuknya Agus ke pentas politik memang takdir Tuhan dan didasari oleh keinginannya untuk mengabdi kepada masyarakat melalui jalur politik dan pemerintahan.
Kini, Partai Demokrat menggadang-gadang serta menawarkan Agus sebagai Calon Wakil Presiden, untuk mendampingi Joko Widodo atau Prabowo Subianto. Komunikasi antar Partai Demokrat dengan dua koalisi tersebut sudah secara intens dilakukan. Dari mulai berkunjungnya Agus ke Istana Negara untuk berjumpa dengan Presiden Joko Widodo, hingga bertemunya SBY dengan Prabowo Subianto di kediaman SBY di kawasan Mega Kuningan, Selasa 24 Juli lalu.
Ditawarkannya Agus sebagai Calon Wakil Presiden dianggap terlalu memaksakan dan akan merusak karir Agus kedepannya. Berkaca dari Pilgub DKI 2017, Agus dianggap belum memiliki pengalaman yang mempuni serta belum mengetahui tata kelola pemerintahan. Partai Demokrat, dengan SBY sebagai Ketua Umumnya menggunakan Agus sebagai 'proxy' untuk dapat berkuasa kembali.
Pertemuan petinggi Partai Demokrat dengan Prabowo 24 Juli lalu disinyalir sebagai sinyal terjalinnya koalisi antara Partai Demokrat dengan Gerindra. Kabar menyeruak, pertemuan 4 mata antara SBY dan Prabowo selama 1 jam itu berisikan negosiasi SBY untuk menjadikan Agus sebagai Wakil Presiden dari Prabowo Subianto.
Bagaimanapun, meski memiliki karir militer yang cemerlang serta pendidikan yang tinggi, keterlibatan Agus di pantas politik yang belum pernah dibuktikan dengan kinerja serta tanpa adanya pengalaman dalam tata kelola pemerintahan membuat Partai Demokrat kesulitan untuk menawarkan Agus sebagai Cawapres. SBY dianggap ingin membangun dinasti politik di partai berlambang mercy tersebut sehingga tidak memberikan kesempatan untuk kader internal Demokrat bersaing untuk dapat posisi yang lebih tinggi.