Lihat ke Halaman Asli

Ribut-ribut Soal Klaim Kebudayaan, Begini Penjelasannya

Diperbarui: 25 Oktober 2017   14:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Esaunggul.ac.id, Jakarta Barat, Permasalahan klaim-mengklaim kebudayaan menjadi salah satu pembahasaan yang banyak diperbincangan, apalagi klaim kebudayaan indonesia yang banyak dilakukan oleh negara-negara lain khususnya negara tetangga.

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Kementerian Hukum dan HAM membahas hal tersebut dalam Audiensi dan Diskusi dengan Universitas Esa Unggul. Hadi Nugraha,SH,MH Kepala Seksi Kerjasama antar Lembaga Non Pemerintah dan Monitoring Konsultan Kekayaan Intelektual yang bertindak sebagai pembicara menerangkan mengenai soal klaim buaya yang selama ini terjadi.

Menurut Hadi di era globalisasi dan arus informasi yang sangat deras dan tidak ada batas ini kebudayaan menjadi salah satu objek yang ikut terpengaruh oleh era tersebut. Terlebih, permasalahan kebudayaan ini sangatlah kompleks pembahasannya karena urusan ini biasanya melibatkan lintas negara dan bangsa.

"Permasalahan mengenai klaim-klaim kebudayaan yang banyak diperdebatkan sangatlah kompleks dalam penerapannya karena melibatkan berbagai subjek hukum dan bangsa. Terlebih dalam penerapan aturannya, wewenang mengenai Kebudayaan ini berada dalam naungan UNESCO sebagai Intitusi yang yang berhak menentukan klaim suatu budaya,"tutur Hadi di Aula Pertemuan Kementerian Hukum HAM, Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (19/10/2017).

Dia pun mencontohkan sebuah kasus, kebudayaan kita yang banyak diklaim oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia yakni Rendang atau Reog yang sebetulnya orang keturunan Indonesialah yang membawa hal tersebut ke sana, jadi ini kan bukanlah masalah mengambil kebudayaan. dan ketika Reog itu di tampilkan di Malaysia kita menjadi kebakaran jenggot.

Jika hal ini dapat dipermasalahkan, Barongsai yang banyak dimainkan dan telah menjadi bagian salah satu kebudayaan di daerah Indonesia itu tidak boleh diklaim sebagai kebudayaan daerah Indonesia, karena barongsai ini merupakan kebudayaan dari Tiongkok. Padahal seperti di daerah-daerah Kalimantan dan Sumatera ini menjadi bagian dari kebudayaan mereka.

"Kita lihat Barongsai kemudian Pura-pura, Candi dan tokoh-tokoh rahwana, shinta, Gatot Kaca apakah harus dihilangkan karena bukan dari negara kita? mereka itu kan kebudayaan dari luar. Kalau saja negara-negara asal kebudayaan tersebut mengklaim hal-hal tersebut maka sudah terhitung banyak sekali yang akan hilang budaya kita karena mengkalim kebudayaan orang lain," tuturnya.

Hadi pun melanjutkan di negara Amerika Selatan yakni Suriname sendiri, bahasa yang mereka gunakan ialah bahasa Jawa sebagai bahasa ibu mereka, yang notabanenya merupakan bahasa tradisional yang berasal dari Indonesia. Jika kita mengklaim bahasa itu bahasa milik Indonesia dan orang-orang Suriname tidak boleh menggunakan hal tersebut ini akan memunculkan permasalahan baru.

Untuk itu dia menyarankan dan berpesan kepada masayarakat terutama mahasiswa yang hadir dalam Audiensi  dan diskusi tersebut untuk berpikir lebih luas dalam menyikapi suatu kasus terkait masalah klaim-kalim kebudayaan.

"Mudah-mudahan kita makin menghargai kembali budaya kita, jangan hanya mencacai-maki saat kebudayaan kita diambil oleh negara lain. Jaga, Rawat dan lestarikan kebudayaan milik kita agar anak cucu kita dapat dengan mudah menikmati kebudayaan asli Indonesia," tutupnya.

Audiensi dan Diskusi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dilakukan antara Universitas Esa Unggul dengan Dirjen HAKI Kemenkumham. Hampir 30 Civitas Esa Unggul yang terdiri dari mahasiswa dan dosen mengikuti audiensi yang berjalan atraktif ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline