Negara Jepang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia, terutama di bidang industri. Perkembangan ekonomi Jepang yang cukup menakjubkan terutama juga didukung oleh sumberdaya energi. Sejak tahun 1970an, Jepang menikmati sumberdaya energi gas bumi terutama dalam bentuk LNG (Liquefied Natural Gas) dari Indonesia untuk mengembangkan industri negaranya. Selain itu, Jepang juga sudah mengembangkan nuklir sebagai pembangkit energi utama.
Terjadinya gempa dahsyat berskala 8.9 Richter di bagian timur Jepang menimbulkan kegemparan yang begitu dahsyat. Apalagi disertai oleh gelombang tsunami yang meluluhlantakkan daerah pesisir Timur pulau Honshu. Gempa dahsyat tersebut memang hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada bangunan-bangunan di Jepang yang sudah didesain secara khusus untuk bertahan menghadapi gempa. Namun, gempa tersebut telah menimbulkan potensi kebocoran di Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima.
Sekarang ini, Jepang mengalami krisis energi terutama karena kekurangan suplai listrik karena tidak beroperasinya sejumlah PLTN yang seharusnya mampu menghasilkan 12 GW tenaga listrik. Diperkirakan ada 4 (empat) reaktor nuklir atau sekitar 4.7 GW yang kelihatannya tidak bisa dioperasikan lagi karena injeksi air laut yang bersifat korosif untuk mencegah pemanasan reaktor. Selain itu, sebesar 7.7 GW tidak dapat beroperasi paling tidak selama setahun.
Ketakutan akan bahaya nuklir ini tidak hanya menyebabkan ditutupnya PLTN di Jepang, tetapi juga menimbulkan kepanikan di Amerika Serikat dan Eropa yang menutup sebagian PLTN-nya. Jerman sudah menutup 7 pembangkit tenaga nuklir karena ketakutan tersebut.
Dengan tidak beroperasinya Pusat Listrik Tenaga Nuklir di Jepang, maka negara itu sekarang harus bergantung kepada sumberdaya energi lain, seperti minyak dan gas bumi serta batubara. Hal ini memicu peningkatan permintaan sumberdaya migas dan batubara yang diperlukan oleh Jepang. Tak pelak lagi, harga gas bumi terutama harga spot gas bumi di Eropa mengalami kenaikan tajam karena permintaan sumberdaya gas dari Jepang.
Kenaikan harga gas tersebut sebelumnya juga pernah terjadi di tahun 2007/2008 di mana Jepang meningkatkan impor LNG, sehingga harga gas mencapai $20/mmbtu. Kemungkinan besar, permintaan Jepang akan gas bumi akan terus meningkat selama 1-2 tahun mendatang dan akan memicu kenaikan harga gas dunia. Bahkan pihak Jepang pun sudah melakukan pendekatan kepada negara-negara produsen gas untuk membantu suplai gas ke Jepang. Indonesia pun sudah diminta oleh Jepang untuk meningkatkan suplai gas LNG untuk mengatasi krisis energi di Jepang. Kilang LNG Bontang di Kalimantan sudah mengindikasikan akan menawarkan 20 kargo LNG gas untuk membantu krisis energi Jepang.
Permintaan energi yang besar dari Jepang untuk menutupi kekurangan energi nuklirnya, tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi harga gas dunia. Ditambah lagi dengan krisis yang muncul di Libia akan menimbulkan ketidakpastian ekonomi dunia dengan menurunnya produksi migas dari Libia, dan akan berpotensi meningkatkan harga minyak dan gas bumi karena Libia merupakan salah satu negara produsen migas yang cukup besar. Padahal harga minyak dunia sekarang sedang merangkak naik dan menembus batas psikologis $100/barel. Karena pengaruh krisis energi Jepang, konflik sekutu di Libia akan memicu lagi kenaikan harga minyak dengan potensi harga minyak sebear $150-200/barel dalam waktu beberapa bulan mendatang.
Kenaikan harga minyak dan gas bumi tentunya akan menimbulkan pengaruh yang cukup signifikan untuk ekonomi nasional, terutama karena Indonesia masih menerapkan kebijakan subsidi migas. Defisit anggaran nasional akan semakin dalam, dan tentunya akan menimbulkan tekanan bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan subsidi migas sehingga anggaran pemerintah tidak terkuras untuk membiayai subsidi migas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H