Ketika banyak orang mencemooh perjalanan studi banding yang dilakukan oleh anggota DPR untuk mempelajari gerakan Pramuka di Afrika Selatan, ternyata perjalanan yang dilakukan oleh Wapres Boediono tidak kalah gencarnya. Dalam lima bulan terakhir ini saja, Boediono sudah dua kali plesiran ke New York di Amerika Serikat. Tentu saja, biaya plesiran Boediono jauh lebih besar dari anggota DPR. Karena jika Boediono bepergian harus diiringi oleh segerombolan stafnya.
Kunjungan Boediono ke New York terakhir adalah di pertengahan bulan September dan berakhir tanggal 24 September 2010, untuk mewakili pertemuan AS-ASEAN. Selain itu juga bertemu muka dengan pemimpin-pemimpin bisnis di kota itu. Antara lain bertemu dengan pimpinan Freeport McMoran, Procter & Gamble, dan GE Infrastructure. Agak aneh juga, kok Wapres bertemu dengan pimpinan-pimpinan bisnis. Sedangkan detail pembicaraan-pembicaraan tersebut tidak dijelaskan, sehingga menimbulkan tanda tanya besar. Apa sebenarnya motif Boediono melakukan pembicaraan dengan pemimpin perusahaan-perusahaan besar tersebut.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, seperti diinformasikan oleh Ketua Dewan Asia-Amerika Serikat, Kevin Thieneman, Boediono malah menggelontorkan proyek besar di bidang infrastruktur untuk 12 (dua belas) perusahaan Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan sikap dan visi Boediono sebagai neolib sejati yang memuja perusahaan asing. Jika proyek-proyek besar infrastruktur dilahap oleh perusahaan asing, maka perusahaan-perusahaan Indonesia tidak akan memperoleh kesempatan untuk mengerjakan proyek-proyek besar tersebut yang tentunya akan menyerap banyak tenaga kerja. Bisa dibayangkan, maka perusahaan-perusahaan konstruksi nasional pun akan semakin megap-megap karena keserakahan Boediono untuk memberikan proyek-proyek besar pada perusahaan asing.
Di sini terlihat bahwa sebagai Wakil Presiden, Boediono sama sekali tidak mempunyai jiwa nasionalisme. Boediono justru merasa bangga dengan memberikan proyek besar pada 12 perusahaan asing tersebut. Bahkan kita justru harus mencurigai ada permainan apa sehingga Boediono dengan leluasanya memberikan proyek-proyek besar hanya dengan MoU (Memorandum of Understanding).
Padahal pengerjaan proyek-proyek besar akan lebih efektif dan efisien jika dilakukan melalui proses tender terbuka, sehingga tercipta kompetisi yang sehat. Namun, justru Boediono dengan kekuasaannya menghilangkan kompetisi tersebut, tentunya untuk keuntungan yang maha besar bagi 12 perusahaan asing.
Padahal jika proyek infrastruktur tersebut dapat dikerjakan oleh perusahaan nasional, untuk pembiayaannya pun bisa diperoleh dari dana-dana bank dan masyarakat sehingga roda ekonomi Indonesia bisa berputar lebih baik. Selain itu, pengerjaan proyek-proyek infrastruktur besar oleh perusahaan nasional juga akan menyerap tenaga kerja ahli dari Indonesia sehingga mampu bersaing dengan tenaga asing.
Sungguh suatu pemborosan yang nyata bagi negara untuk membiayai plesiran Wapres Boediono yang justru memberikan begitu saja proyek-proyek infrastruktur raksasa untuk sekelompok perusahaan asing. Atau memang begitukah pola kerja Sang Neolib Boediono untuk lebih menancapkan kuku ketergantungan asing untuk Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H