Istilah bullying sudah tidak asing lagi di telinga kita, mengingat akhir-akhir ini seringkali terjadi dan merupakan salah satu isu yang menyedot banyak perhatian masyarakat Indonesia. Bullying atau perundungan sering terjadi terutama di lingkungan sekolah. Berbagai penanganan untuk anak-anak dan remaja yang terlibat pada kasus perundungan telah banyak dikembangkan dan dilakukan. Namun kasus perundungan masih saja terjadi. Seperti kasus perundungan yang terjadi di Thamrin, Jakarta Pusat pada bulan Juli, yang videonya menjadi viral di sosial media (Qodar, 2017).
Terbukti dari data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang melakukan pemantauan terhadap kasus kekerasan terhadap anak. Pada tahun 2011, terjadi 2178 kasus kekerasan, tahun 2012 ada 3512 kasus, pada 2013 ada 4311 kasus, dan pada tahun 2014 ada 5066 kasus. Jumlah ini terus meningkat karena pada tahun 2015 kemudian tercatat 6006 kasus. Sehingga pada tahun 2017 KPAI menerima sebanya 26 ribu kasus kekerasan terhadap anak mulai tahun 2011 sampai dengan bulan September 2017 (KPAI, 2015).
Berdasarkan Olweus (1993 dalam Oh & Hazler, 2009), perundungan terdiri dari tiga komponen, yaitu melakukan sesuatu yang besifat mencelakakan, bersifat repetitif (dilakukan berulang-ulang), dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan.
Perundungan dapat diartikan sebagai perilaku negatif yang mencelakakan yang dilakukan secara sengaja terhadap korban, baik secara fisik, verbal, maupun sosial. Apabila seseorang sudah melakukan perundungan, kemungkinan besar perilaku tersebut akan diulangi kembali, karena terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban secara fisik, sosial, psikososial, atau akademik.
Rigby (2007 dalam Tsang, Hui, & Law, 2011) memberikan definisi yang lebih mendetail mengenai perundungan di lingkungan sekolah. Perundungan di sekolah merupakan suatu bentuk perilaku agresif yang ditandai oleh penyalahgunaan kekuatan yang dilakukan secara sengaja dan berulang kali terhadap korban yang tidak dapat membela dirinya sendiri.
Perundungan di sekolah seringkali dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu perundungan secara fisik, perundungan secara verbal, pengasingan sosial, dan pemerasan (Smith & Ananiadou, 2003 dalam Tsang, Hui, & Law, 2011).
Padgett dan Notar (2013) mengidentifikasi empat peran yang terlibat dalam perundungan, yaitu pelaku (bullies), korban (victims), pelaku-korban (bully-victims), dan saksi/pengamat (bystander).
Pelaku (bullies) adalah seseorang yang memiliki kekuatan atas orang lain dan menggunakan kekuatan tersebut untuk mengintimidasi atau melakukan tindakan agresif terhadap orang lain. Korban (victims) adalah seseorang yang menunjukkan perilaku dan kepercayaan yang negatif mengenai dirinya dan orang lain, memiliki kompetensi sosial yang rendah, prestasi akademik yang buruk, ditolak dan diisolasi oleh teman-temannya dan dipengaruhi secara negatif oleh orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya.
Pelaku-korban (bully-victims) adalah seseorang yang melakukan tindakan agresif, tetapi juga menjadi korban agresi. Saksi/pengamat (bystander) adalah individu yang bukan merupakan pelaku atau korban perundungan. Saksi/pengamat (bystander) memiliki peran yang penting dalam mengurangi dampak merusak dari perundungan.
Anak-anak yang menjadi saksi/pengamat tidak memiliki keberanian untuk menolong korban dikarenakan berbagai alasan. Misalnya karena rasa takut akan mengalami hal yang sama, atau perasaan tidak mampu serta tidak percaya diri untuk menolong, mengingat jumlah pelaku yang selalu lebih banyak dibandingkan jumlah orang yang akan menolong.
Bagaimana cara menanamkan rasa percaya diri dan keberanian pada anak ketika melihat peristiwa bullying di sekolah ? Salah satu caranya adalah dengan melakukan pelatihan yang konsepnya telah disusun oleh Fachrosi (2015), untuk menanamkan aspek-aspek psikologis tertentu dalam diri anak agar anak tidak hanya menjadi penonton saja ketika dihadapkan pada sebuah peristiwa bullying, tetapi anak diharapkan dapat melakukan tindakan.