Lihat ke Halaman Asli

Merespons Berbagai Permasalahan di Aceh

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sampai 7 November 2013, banyak permasalahan yang terjadi di tanah Rencong, Aceh yang pada umumnya didominasi oleh permasalahan akibat dinamika politik lokal yang terjadi di Aceh. Salah seorang staf Panwaslu Pidie misalnya menyatakan, Panwaslu Pidie sampai sekarang belum memiliki sekretariat sehingga semua proses adminitrasi, keuangan dan tindakan proses pengawasan pelaksanaan tahapan Pemilu 2014 belum berjalan dengan sempurna meskipun pelantikannya sudah hampir 3 bulan.

Kebutuhan administratif KPUD dan Bawaslu adalah kewajiban Pemerintah Daerah Pidie untuk menanganinya, persoalan lebih tepat kalau diajukan sebagai desakan ke Pemda Pidie saja. Di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah dan Redelong, Kabupaten Bener Meriah, telah menyebar 10.000 lembar selebaran berisikan ajakan penolakan pengukuhan Wali Nanggroe dan Qanun Bendera serta Lambang Aceh. Selebaran tersebut juga mengajak masyarakat di wilayah Aceh Leuser Antara (ALA) melakukan aksi menolak Qanun Wali Nanggroe dan Bendera Aceh, dan menuntut Pemerintah Daerah Kab. Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Subulussalam untuk tidak berhubungan lagi dengan Pemerintah Aceh, karena Pemerintah Aceh hari ini tidak mengakui keberadaan Suku Gayo, Alas dan Singkil serta suku-suku lainnya selain Suku Aceh.

Penolakan terhadap Qanun No 8 Tahun 2012 tentang Wali Nanggroe juga terjadi pada 7 November 2013 di Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, dilakukan massa mengatasnamakan Koalisi Bersatu Masyarakat (KBM) Lhokseumawe dan Aceh Utara. Dalam orasinya, selain menolak pelaksanaan pengukuhan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe, mereka juga meminta realisasi 21 janji-janji Zikir semasa kampanye dan  menuntut Pemerintah Aceh bertanggung jawab atas pembangunan yang belum terealisasikan.

Aksi penyebaran selebaran di Takengon dan Bener Meriah ini meskipun positif tetapi berbau kesukuan dan kedaerahan dalam arti sempit.  Masalah Qanun Wali Nanggroe dan Bendera Aceh tidak usah dikembangkan  dengan mengeksploitasi sentimen kesukuan  dan kedaerahan. Sementara itu, terkait dengan aksi unjuk rasa menolak Qanun No 8 Tahun 2012, penulis menilai pembatalan Qanun Wali Namggroe agar ditangani oleh Pemerintah Pusat, jangan sampai berkembang menjadi kontroversi dalam masyarakat, yang berakibat terpancingnya lagi  konflik antar golongan dalam masyarakat Aceh. Patut diduga aksi unjuk rasa ini merupakan rekayasa kelompok anti separatisme menggerakkan aksi-aksi anti lembaga Wali Nanggroe jelas counter productive dengan upaya menciptakan keamanan di Aceh, sehingga akan lebih elegan jika aksi semacam ini agar dikendalikan, supaya tidak memancing munculnya lagi pendukung konsep Wali Naggroe yang pada umumnya adalah bekas pendukug GAM.

Dinamika politik lokal lainnya yang berkembang di Aceh adalah berbagai unjuk rasa dan protes kurang puas dengan kinerja pemerintahan Aceh dibawah Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, seperti terlihat dalam acara konsolidasi yang diselenggarakan belum lama ini di Lapangan Hiraq, Desa Simpang Empat, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, oleh Lembaga Sosialisasi MoU (LES MoU) yang dihadiri sekitar 500 orang pengurus Pusat LSM MoU dan massa pendukung LES MoU. Pada intinya, acara ini mengkritik Pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang tidak pro dengan rakyat, karena sudah 8 tahun perdamaian berlangsung rakyat tidak sejahtera dan semakin sulit, padahal Pemerintah Aceh sudah diberikan dana yang berlimpah oleh Pemerintah Indonesia.

Untuk menjaga netralitas civil society yang ada di Aceh, maka aktivitas LES MoU agar dilanjutkan dalam rangka menyosialisasikan MoU sebagai sarana menjaga perdamaian Aceh, bukan mencari celah-celah kerawanan MoU yang dapat melahirkan masalah-masalah yang kontroversial seperti pro kontra lembaga Wali Naggroe dan Bendera Aceh. Oleh karena itu, kritik terhadap pemerintahan Zaini -  Muzakir sebaiknya dihentikan untuk mencegah bangkitnya kembali sentimen GAM. Akan lebih cerdas dan bijak, jika kritik yang disampaikan LES MoU diformulasikan sebagai usulan dan desakan perbaikan situasi, bukan menilai kepemimpinan mereka.

Upaya mengkritisi pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf juga dilakukan oleh massa dari  Aliansi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (Gempa) di depan Kantor Gubernur Aceh di Banda Aceh dalam rangka menuntut realisasi janji-janji Pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf (Zikir). Dalam orasinya, pengunjuk rasa menilai selain menyatakan Pemerintahan Zikir telah gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, para pengunjuk rasa juga meminta Gubernur dan Wakil Gubernur untuk turun dari jabatannya, dan menganggap Gubernur Aceh telah melakukan pembodohan terhadap rakyat Aceh.

Aparat keamanan yang bertugas di Aceh harus berupaya agar aksi unjuk rasa tidak berkembang menjadi aksi yang permanen ingin menjatuhkan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, yang didukung oleh partai lokal dan partai nasional yang mendukung Partai Aceh yang dibentuk bekas anggota GAM. Jika ada upaya kelompok kepentingan untuk menjatuhkan Gubernur-Wakil Gubernur Aceh, harus dipikirkan ulang, karena apabila benar Gubernur dan Wakil Gubernur Zaini-Manaf jatuh, maka bekas GAM bisa menjadi kembali sebagai oposisi terselubung, dan itu sangat membahayakan keamanan di Aceh, mencoreng demokrasi di Indonesia serta berpotensi menimbulkan kembali berbagai pelanggaran HAM di Aceh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline