Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Kopi dan Keabstrakannya di Dalam Gelas

Diperbarui: 27 Januari 2018   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: wallmazryq.files.wordpress.com

Pagi, bahkan terlalu dini untuk membuka sebuah laptop dengan niat menulis beberapa lembar cerita yang telah begitu banyak membuat pikiran menjadi kacau. Ku akui tidur yang hanya beberapa jam di malam hari tadi menyisihkan pertanyaan-pertanyaan terhadap mimpi yang sungguh aneh. Namun urung ku ceritakan kepada semesta, biarlah mimpi itu berlalu lalang di dalam pikiran, risih sekali dibuatnya.

Beberapa hari yang lewat aku sempat membantu bantu dalam gotong royong sanak saudara yang akan mengadakan pesta, ketika mengambil waktu istirahat disediakanlah beberapa bungkus kopi, teh dan gula. Hanya tinggal mengatur takaran dan menyeduhnya saja, itu terserah selera kita masing-masing. 

Aku dan saudara sekampung yang duduk bertiga memilih untuk membuat kopi, mereka sangat heran dengan seleraku, takaran gula yang sangat sedikit. Mereka menganggap  gila dan mengerinyitkan dahi mereka ketika melihat takaran kopi yang ku tuangkan, ya maklum, aku sendiri penyuka kopi pahit tetapi masih menaruh sedikit gula, walaupun rasa manis tidak terasa sama sekali.

Bagi saudaraku ini, kopi pahit merupakan hal aneh, pernah salah satu dari mereka tidak sengaja mencoba kopi yang telah aku seduh, melihat ekspresi wajah mereka ketika menyeruput kopi pahit meembuat aku  terpingkal-pingkal. Ada filosofi tersendiri bagi mereka tentang kopi, karena mereka seorang pekerja keras jadi mereka biasa menaruh banyak gula di dalam kopi, bagi mereka bagaimana perseteruan antara gula dan kopi dalam sebuah gelas, bagaimana kopi mengakuisisi sebuah gelas dan ingin diakui oleh gula. Begitupun sebaliknya gula ingin diakui dengan pengaruh rasa manisnya lah bahwa segelas kopi ini bisa layak untuk diminum.

Sambil mendengar penjelasan mereka tentang keseharian dalam  penyajian kopi, aku  manggut-manggut sendiri, boleh juga nih melihat kopi dari perspektif lain. Ada juga pernah ku  temukan lain hal, pagi itu setelah menumpahkan tulisan-tulisan pada lembar kerja laptop, lapar pun menghampiri. Cuci muka, menepuk-nepuk ringan pipi  dan berganti pakaian. 

Mencari seonggok sarapan agar terpenuhi kebutuhan fisik, ketika itu aku duduk di kedai lontong Buk Mur, aku sendiri langganan di sini, bahkan yang hebatnya lagi tidak pernah absen untuk nangkring di sini ketimbang absen di kampus. Buk Mur sendiri baik, dan mengerti tentang kepribadianku yang tidak terlalu banyak bicara, ditambah lagi Buk Mur juga memiliki seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Sesekali anak perempuan Buk Mur membantu membuatkan kopi dan mengantarkan kepadaku. Di momen seperti inilah aku dapat pencerahan dari sesosok gadis belia. Tetapi bukan ini momen yang ingin ku ceritakan. Hehehe.

Setiap pagi nangkring di kedai Buk Mur, ada juga setiap pagi seorang ibuk-ibuk yang selalu memesan setengan kopi coffemix. Setiap pagi, itu merupakan rutinitas wajib si Ibuk tersebut. Ibuk tersebut mengaku jikalau tak minum coffemix dalam sehari kepala jadi sakit, berdenyut-denyut bahkan lemas. Aku mengerti kecanduan seperti ini, terkadang juga aku sendiri mengalami. 

Pernah sempat rekomendasikan kepada ibuk tersebut untuk mencoba kopi hitam, tapi ibuk mengelak, pahit teramat pekat  dan tidak enak kata si Ibuk tersebut. Coffemix manis karena tidak hanya ada campuran gula, namun juga tambahan krimer dan rasa kopi nya lembut.

Keesokan harinya disela-sela tidak ada jam kuliah aku lepaskan diri untuk nangkring di kantin, sendiri. Karena boleh dibilang aku sendiri adalah mahasiswa yang kelewat batas alias sudah dua digit semester. Separoh dari kawan-kawan sudah wisuda, sudah merantau bahkan telah memiliki anak. 

Setelah aku  menyelesaikan makan siang, aku masih duduk sembari menunggu waktu ashar, merogoh saku untuk memainkan gawai, melihat notifikasi sosial media yang telah menjadi keseharian. Tak lama setelah itu datanglah Dian, seorang gadis yang sejurusan namun dua tahun dibawah ku. Dian sering menghampiriku kala sendiri, ketika didepan kelas maupun di dalam kelas, tapi tidak ketika di kantin, ini beda ceritanya. 

"Ngapain bang?" tanya Dian singkat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline