Lihat ke Halaman Asli

Rekontruksi Paradigma Demokrasi Wujudkan Politik Egaliterisme Demi Stabilisasi Pilkada yang Sehat

Diperbarui: 9 Agustus 2024   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rekontruksi Paradigma Demokrasi Wujudkan Politik Egaliterisme Demi Stabilisasi Pilkada Yang Sehat

Oleh : Rafli Tahir (Ketua Umum Forum Kajian Mahasiswa Islam Sulawesi Tenggara)

Republik Indonesia adalah negara yang menggunakan sistem demokrasi sehingga negara harus memberikan pemahaman nilai-nilai demokrasi kepada rakyat. Olehnya itu nilai demokrasi salah satu nilainya yaitu nilai-nilai egalitarian, pluralistik, hak dan kewajiban individu, keadilan, kasih sayang, dan nilai musyawarah, serta nilai-nilai kemanusiaan lainnya.

Perspektif politis, demokrasi memiliki posisi strategis, karena dinilai dapat menjaga iman dan mempertahankan pedoman etik di tengah-tengah perubahan yang modern. Islam selalu mengalami kegagalan dalam mengintegrasikan Negara dan agama. Bagi orang mukmin, bahaya sebenarnya penyatuan Islam dan Negara dikarenakan Islam akan berakhir karena tersubordinasikan pada Negara. Prilaku politik yang bersifat ekspresif, reaksioner terhadap fenomena sosial yang berkembang dengan cara menggunakan kekuatan massa arus bawah, nampaknya sudah relevan lagi pada era demokrasi sekarang ini, apalagi prilaku politik pemerintah yang tiranik, sebab nilai kemanusiaan merupakan pertimbangan asasi.

Demokrasi berjalan searah dengan egalititarisme dan memiliki tujuan yang sama, hal ini selaras dengan adagium Nurcholish Madjid menyamakan kata egalitarianisme dengan persamaan, yang secara substantif memiliki kesamaan dengan demokrasi. Egalitarianisme dapat juga dipahami sebagai doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat atau bisa pula dikatakan sebagai asas pendirian yang menganggap bahwa kelas-kelas sosial yang berbeda mempunyai bermacam-macam anggota, dari yang pandai sampai ke yang sangat bodoh di proporsi yang relatif sama. 

John Locke adalah salah satu Filsuf yang berkebangsaan Inggris, yang menulis pada akhir abad ke-17, menekankan bahwa orang memiliki 'hak alami' untuk melakukan apa yang mereka inginkan selama 'hak alami' orang lain tidak dilanggar dalam prosesnya. Tulisannya bersifat revolusioner dalam konteks di mana filsuf seperti Thomas Hobbes mendukung monarki absolut, dan menjelang 'Revolusi Mulia' Inggris tahun 1688 yang menyaksikan pemisahan sebagian Parlemen dari Mahkota. Klaim utama Locke adalah bahwa orang memiliki hak yang tidak dapat dicabut atas apa yang mereka hasilkan, dan harus bebas dari paksaan, baik dalam bentuk redistribusi yang dipaksakan atau dalam bentuk kerja paksa ide yang cukup tidak lazim pada saat itu. 

Jean Jacques Rousseau sangat peduli dengan nilai humaniasis sehingga kepedulianya itu mengerucut kepada kebebasan individu, tetapi tulisannya lebih peka terhadap masalah yang ditimbulkan oleh pengejaran kepentingan pribadi dan oleh sistem kepemilikan pribadi. 

Karena orang saling bergantung satu sama lain, baik secara material maupun psikologis, menurut Rousseau, tidak masuk akal untuk berbicara seolah-olah ini tidak terjadi seolah-olah mereka tidak berkewajiban atau dipaksa untuk saling peduli atau memberikan kekayaan mereka. Dalam Discourse on inequality (1755), Rousseau berpendapat bahwa dengan membangun sistem kepemilikan pribadi, ketidak setaraan dapat berkembang. Namun, Rousseau tidak sampai menganjurkan agar kepemilikan pribadi dihapuskan. Jika bagi Locke ketidaksetaraan adalah hal yang wajar, bagi Rousseau hal itu dapat diatasi melalui pengembangan hukum yang didasarkan pada 'kehendak umum' rakyat dengan kata lain, hukum yang akan menjamin kebaikan bersama.

Islam dalam era moderen terdapat pemikiran yang relevan dengan era moderen, seperti paham republik di mana kepala Negara dipilih untuk jangka waktu tertentu, harus tunduk pada Undang-Undang Dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen; ide persamaan (egalite) di mana rakyat memiliki kedudukan yang sama dalam soal pemerintahan dan ide nasionalisme.

Lebih luas lagi egalitarianisme dalam konteks sosio politik, egalitarianisme yang mengandung makna persamaan, menunjukkan arti berlaku moderat dan berimbang pada wilayah politik, ekonomi, sipil dan sosial, yang berlaku dalam hubungan intern antar warga, antar bangsa-bangsa dan Negara; antar etnis dan masyarakat luas. Muhammad Imarah secara rinci menegaskan tentang konsep persamaan yang realistis adalah persamaan manusia di depan hukum, dengan menghilangkan perbedaan tempat kelahiran, warna kulit, keturunan, etnis dan keyakinan agama. Selanjutnya adalah persamaan dalam memberi kesempatan bagi semua warga, semua bangsa dan Negara dalam kerangka sosial. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline