Lihat ke Halaman Asli

Suatu Pagi di Minggu Pahing

Diperbarui: 8 September 2015   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Matahari masih enggan menampakkan dirinya, tapi Kasno sudah bersiap-siap untuk keluar rumah padahal ia belum mandi apalagi gosok gigi. Kasno mendorong pintu rumah yang menimbulkan suara berderit-derit, tapi herannya suara itu tak mampu membangunkan seluruh penghuni rumah Kasno. Dengan hati-hati Kasno mengambil sandal jepit biru kesayangannya, lalu meninggalkan rumahnya. "Ini hari Minggu Pahing, hari ulangtahun istriku. Aku akan menunggunya di waduk Sempor," gumam Kasno.

     Hari itu hari Senin. Hari dimana semua orang seharusnya sibuk memulai aktivitas di awal minggu. Tapi tidak bagi keluarga Kasno. Setelah hari itu Kasno tidak pernah lagi kembali ke rumah. Seluruh keluarga Kasno dibuat bingung mencari kesana kemari tapi tak juga ditemui, bahkan sudah seminggu berlalu. Tono, anak sulung Kasno sudah berkeliling kota untuk mencari Kasno yang hilang tanpa jejak, bahkan sudah melapor ke pihak berwajib. Begitu juga Tini, anak bungsu Kasno yang selalu memerhatikan kebutuhan Kasno. Semua usaha tampak bagaikan menjaring angin, sebab Kasno seperti sirna tanpa jejak.

     Dalam penantian yang dipenuhi kebimbangan, Tono dan Tini  hanya dapat meratapi kepergian bapak mereka. Segudang penyesalan kerap menghantui mereka. Terbayang kembali diingatan Tono mengenai bapaknya yang sudah lanjut usia dan kerap berlaku laksana kanak-kanak.

"Bapak, mau kemana, Pak?" Tanya Tono penuh heran saat melihat bapaknya yang sudah memakai baju dengan rapi dan necis.

"Bapak mau jemput ibumu dulu, dia pasti sudah lama menunggu Bapak. Kasihan, Ibumu."

Tono menghela nafas dalam-dalam, menyiapkan kata-katanya agar tetap sabar meladeni orangtuanya yang tinggal semata wayang.

"Ibu, kan sudah lama meninggal, Pak. Bapak, masa lupa?"

"Oh, iya," jawab Kasno singkat seraya mencoba mengingat segalanya. Tak lama air mata menetes di pipinya, membuat Tono tak berdaya dengan hal ini.

     Sejak kepergian istrinya, Kasno seperti kehilangan separuh hidupnya. Ia bagaikan bintang yang tak mampu berkerlip lagi, seperti buluh yang terkulai lemah tanpa tenaga. Istri Kasno memang sosok yang hebat. Selama hidupnya, Kasno memang selalu mengandalkan istrinya. Istrinya cakap mengatur masalah keuangan, pandai merawat anak-anaknya, piawai mengolah makanan apa saja sehingga membuat keluarganya sangat subur. Kehangatan senyum istri Kasno mampu meredakan segala kecamuk kegelisahan atau kemarahan hatinya, maka tak salah jika jiwa Kasno serasa ikut melayang dengan kepergian belahan jiwa tersayang.

     Hari ini genap sepuluh hari Kasno menghilang. Si bungsu Tini tetap setia menyambangi tempat-tempat keramaian umum atau rumah sakit-rumah sakit demi mencari informasi keberadaan bapaknya. Jauh di kedalaman hati Tini sesungguhnya ia pernah memikirkan untuk menempatkan bapaknya ke panti jompo agar bapaknya bisa menikmati hari-harinya bersama dengan orang-orang yang sama dan ada yang merawat bapaknya dengan baik. Tapi karena kecaman dari keluarga besarnya yang tidak mengijinkan hal ini, maka kini jadilah Tini dan Tono yang merawat Kasno hanya berdua saja sebab keluarga yang lain tak ada yang mau membantu, apalagi dititipi barang sebentar.

     Beberapa bulan yang lalu sejak Kasno berlaku laiknya kanak-kanak, ada seorang tetangga yang berprofesi perawat memberitahu Tini agar membawa bapaknya ke psikiater supaya bisa ditangani dengan baik dan tidak terlalu merepotkan. Semula Tini mengabaikan nasehat sang perawat tersebut. Namun, makin hari kelakukan bapaknya makin terasa menyulitkan. Kasno kerap pergi sendiri entah kemana dan lupa jalan pulang hingga salah seorang tetangga yang tinggal satu komplek membantu pulang ke rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline