Lihat ke Halaman Asli

Jaket Merah

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis itu berlari cepat meninggalkan ruang kelas tiga. Setelah mengendap-endap bagai pencuri. Meletakkan kotak besar bertuliskan “selamat ulang tahun”. Berharap tidak ada seorang manusia pun yang melihatnya. Keesokan harinya, ia sudah berdiri di depan kelasnya di lantai dua. Memantau parkiran motor di depan gerbang. Matanya hanya tertuju pada satu orang. Satu orang yang turun dari motor Yamaha. Segurat perasaan kecewa terlintas di wajahnya. Hari ini dan hari-hari berikutnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Apakah ia membuang jaket itu?”

***

Itu tinggal beberapa bulan lagi sebelum deadline maju di ujian skripsi. Perasaan khawatir dan cemas sudah membuatmu tidak bisa tidur. Ternyata sebagai mahasiswa tingkat akhir tahap stress yang dirasakan sehingga mengalami insomnia bukan lagi masalah hati. Melainkan masalah skripsi. Mana judul? Mana bab 1? Mana di desak pembimbing? Mana susahnya minta data? Mana mana dimana? *lah kok malah nyanyi?

Begitu pun dengan Vivin. Rasanya baru kemarin kita kesana kemari dengan pakaian hitam putih lengkap dengan pita ungu setinggi tangan. Pake tas merah menyala khas mahasiswa baru lagi. Aduh! Sekarang kita sudah mau pakai pakaian resmi negara indonesia kalau mau menyelesaikan tugas akhir di meja seminar. Hitam putih!

Sejak beberapa hari yang lalu, Vivin sudah bolak-balik jurusan dengan selembar kertas berisi pengusulan judul penelitian. Kurang lebih terdapat enam judul yang ia masukan. Vivin tidak berharap banyak. Minimal diterima satu saja. Maka masalah kurang tidur Vivin bisa sedikit berkurang. Apa hubungannya ya? Kurang tidur dengan penerimaan usulan judul? AH! Bisa bisa bisa diteliti ini! *pikiran mahasiswa tingkat akhir* Semuanya bisa diteliti. Termasuk hubungan penyakit jantung dengan intensitas patah hati!

Sayangnya Tuhan sedang menguji kebesaran hati Vivin. Keenam judul yang ia ajukan di tolak dengan halus oleh pengelola. Saking halusnya Vivin bahkan tidak melihat adanya jejak kesamaan judul yang ia ajukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Vivin yakin sekali. Ide yang ia tuangkan itu fresh baru keluar dari air kalau mau disamakan dengan ikan, baru dipanen dari kebun kalau mau disamakan dengan sayuran, dan baru keluar dari otak Vivin kalau mau disamakan dengan judul skripsi.

Vivin yang shock. Bingung. Tak tahu arah jalan pulang. Duduk terdiam di ruang seminar bagaikan butiran debu. Helaan nafas sedikit saja mampu menerbangkan semangatnya. Hilang. Pergi. Melayang bersama udara. Haruskah Vivin menyerah secepat itu? Kalau kata salah seorang dosen, “Masa mau sarjana segitu aja usahamu? Semangat donk. Ya?”

Demi mengingat kata-kata tersebut yang tiba-tiba terngiang di telinga, Vivin mengerjap-ngerjapkannya matanya. Mengepalkan tinjunya ke udara. Membusungkan dadanya yang ke depan. Membakar api semangat di dalam sanubarinya. Vivin bertekad untuk tidak kalah dengan pengelola. Maka detik berikutnya Vivin sudah melangkah meninggalkan ruang seminar yang sakral menuju lantai dua perpustakaan untuk membaca-baca lagi penelitian. Siapa tahu saja ada beberapa ide yang kembali terlintas di pikirannya.

Memang dasar syaitan yah. Ada saja dimana-mana. Semangat-semangat begitu, Vivin sebenarnya mudah sekali digoyahkan. Ada satu hal yang membuat Vivin dengan cepat berbelok arah *untuk sementara*. Ratna yang sedang menyusuri tangga menuju ke lantai dua melihat semuanya. bagaimana Vivin yang SEHARUSNYA belok kiri untuk menuju ke perpustakaan malah mengambil arah kanan. Kemana? Ratna tahu sekali Vivin akan pergi kemana? Fiuh. Dasar cewek!

Ratna mencoba mengambil perannya sebagai sahabat yang baik yang mengarahkan ke jalan yang benar.

“VIVIN!” panggil Ratna setengah teriak setengah tidak (?). Vivin yang sedang terhipnotis berjalan terus tanpa menoleh. Tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar sama saja. Sama-sama tidak mau menoleh.

“Psst! Viviiiiin.” Bukannya memperkencang suaranya, Ratna memanggil dengan lebih halus. Bukan karena ditegur terlalu ribut. Tetapi Ratna tahu sekali apa yang akan terjadi jika yang mendengar panggilannya bukan hanya Vivin saja. Melainkan orang itu yang sedang duduk di bangku koridor. Itu akan membuat rencana Vivin berantakan. Ratna memang sahabat yang baik.

Anehnya, Vivin malah berbalik dengan panggilan yang kecil ini. Dengan wajah meronanya, Vivin tersenyum menyambut Ratna. Vivin mengambil tempat di bangku koridor di depan ruangan dekan yang seharusnya pada jam segini lumayan ramai. Mencuri-curi pandang ke bangku di depan ruang seminar serba guna yang ramai oleh mahasiswa-mahasiswa pasca sarjana. Senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Ratna terenyuh melihat temannya.

“Aku kira kamu mau ke perpustakaan?” tanya Ratna merusak suasana hati Vivin. Vivin menatap Ratna kesal. Mendengus pelan kemudian tersenyum ganjen. Aneh.

“Vivin!” bentak Ratna pelan.

“Skripsi itu penting banget, Na. Aku tahu. Tetapi melihat dia hari ini dengan jaket merahnya yang melambai-lambai memberikan atmosfer tersendiri di hatiku yang telah dipatah semangatkan oleh judul skripsi yang menyedihkan itu. Tak ada salahnya bukan jika aku duduk sebentar di sini. Menikmati pemandangan yang tidak akan pernah kau dapatkan setelah lulus nanti. Ah, bila perlu aku akan menunggu dia lulus baru kemudian aku menyusulnya.” Vivin bercerita panjang lebar. “Aku ngomong apa sih, Na?” lanjutnya bingung. Seperti orang gila.

“Kamu nggak stress karena judul kan?” tanya Ratna prihatin.

“Masa aku harus bilang enggak? Ini semua karena judul, Na. Seandainya aku tidak ditolak. Aku pasti tidak akan turun ke lantai dua. Jika aku tidak turun kemari. Aku tidak akan melihat pemadangan indah yang tidak boleh dilewatkan. Benarkan? Aku lebih baik patah hati, Na dari pada skripsi ku ditolak. Jadi kamu tahu kan alasan aku duduk di sini. Sekarang ini?”

Dasar Vivin. Selalu punya seribu alasan untuk bisa melihat Ari saja. Vivin bahkan pernah bilang akan menemukan seribu alasan untuk bertemu dengan Ari secara kebetulan (yang disengaja).

Ratna menyerah. Susah kalau orang sudah jatuh cinta. Sesalah apapun jalannya, virus merah jambu sudah menyerang hatinya. Membutakan jalan pikirannya. Menyesatkan. Ratna mengambil tasnya, berdiri. Bersiap-siap pergi sebelum tangan Vivin mencegahnya.

“Jangan marah gitu donk, Na. Yuk. Kita ke perpus. Aku sudah selesai.” Ujar Vivin dengan senyumnya yang penuh kebahagiaan. Kalau bisa dilukiskan, ketika Vivin berjalan maka bunga-bunga berbentuk love keluar kemana-mana. Ari yang tadi duduk nyaman bersama rekan-rekannya di bangku sebelah kini beranjak pergi. Begitu pun dengan Vivin. Bener-bener.

Bahkan di tengah kegawatdaruratan pemilihan judul dan penyusunan tugas akhir, Vivin masih bisa menyibukan dirinya dengan urusan perasaan tak tersampaikannya. Menyelinap kesana kemari hanya untuk melihat pujaan hatinya dari jauh. Diam-diam. Tanpa bekas. Menyedihkan sekali nasib Vivin. Sama menyedihkan dengan kertas usulan judulnya yang penuh coretan. Ditolak.

Namun, Vivin sudah bertekad tidak menyerah tadi. Maka dalam waktu kurang dari tiga jam di perpustakaan, Vivin sudah menemukan judul baru yang bagus, fresh, cool, dan yakin diterima. Tanpa berlama-lama lagi Vivin segera membawanya ke pengelola.

Vivin semangat sekali menyerahkan judul barunya yang berjumlah tiga buah. Ia menaiki anak-anak tangga menuju lantai tiga dengan riang gembira. Tersenyum lebar. Bahagia. Saking bahagianya ia tidak melihat tetesan air yang jatuh dari AC di pinggir koridor. Menyapunya begitu saja dengan sepatunya yang licin.

Sleeeep. Vivin tergelincir dengan gaya akrobatik yang keren. Tangan Vivin yang memegang tas dan kertas usulan judul melayang ke sebelah kiri. Menabrak seseorang yang lewat di sampingnya. Bersamaan dengan jatuhnya Vivin ke lantai, sebuah benda juga melesat jatuh dari lantai tiga. Semua mata yang ada melihat ke bawah. Kaget.

Vivin yang kesakitan terkejut setengah mati. Ia melupakan rasa sakitnya demi melihat apa yang terjatuh dari lantai tiga. Tampak sebuah jaket merah tergeletak jauh di lantai taman. Orang-orang yang berkerumun di taman mendongak melihat ke atas. Menghitung tingginya lantai tiga. Wajah Vivin berubah pucat pasi. Takut. Orang-orang di lantai tiga kini melihatnya. Vivin menggerutu dalam hati. Kenapa harus dia sih?

Vivin tertunduk takut-takut pada pria di depannya. Harusnya ini kesempatan langka yang harus dimanfaatkan Vivin. Ini akan menjadi sejarah pertama kalinya Vivin berbicara dengannya. Ari.

“Maaf, Kak. Aku tidak sengaja.” Akhirnya setelah gerakan-gerakan mulut tanpa suara, Vivin mengucapkan beberapa kalimat juga. Wow! “Nanti setelah aku anter judul aku pasti ambilkan jaketnya, terus dicuci. Dan dikasih pewangi. Gratis.” Lanjut Vivin dengan kalimat promotif mirip tukang laundry.

Ari yang juga shock berpegangan pada pinggir pagar tersenyum ramah yang sayangnya tidak dilihat oleh Vivin. Salah sih Vivin nunduk terus. Ari menyodorkan kertas usulan Vivin yang tadi ditangkapnya sehingga membuat jaket merah kesayangannya lompat dari lantai tiga.

“Kamu nggak apa-apa kan? Tadi jatuhnya pasti sakit. Nggak usah minta maaf. Ini kan kecelaakan.”

Apasih yang paling Vivin takutkan setelah memendam perasaan diam-diam selama ini pada Ari. Mendengar suaranya untuk pertama kalinya dan membuatnya menangis haru. Iya. Suara Ari adalah hal yang paling Vivin rindukan sekaligus takutkan. Takut suara Ari akan berbeda dengan wajahnya yang tampan.

Suara berat yang melantun lembut di depannya membuat hatinya membuncah. Bingung. Mencampur adukkan perasaan shock, terkejut, bahagia dan terharu. Air mata Vivin pun tumpah demi mendengar suara yang amat ia rindukan. Sambil sesenggukan, Vivin menerima kertas usulan judulnya.

“Makasih Kak.” Hiks. Vivin sudah lupa janjinya. Ia tidak mendengar ucapan-ucapan Ari selanjutnya. Ia kini hanya mendengar hatinya yang segera mengadakan syukuran. Air matanya yang membanjiri pipinya tanpa kenal malu.

Melihat Vivin yang sesenggukan, Ari menjadi bingung. Bukankah Ari tidak marah. Kenapa gadis ini menangis sedih. Baru ketika Vivin menganggkat wajahnya, menatap kedua mata Ari yang indah. Semua kini menjadi jelas. Mengapa Vivin begitu merasa bersalah pada jaket yang jatuh. Mengapa Vivin menangis sedih karena mendengar suaranya. Ari mengerti sekarang.

Usai mengantar judul, Vivin berjalan cepat ke lantai satu. Menemui Ari dan jaket di tangannya. Vivin sudah tidak menangis lagi. Juga tidak terkejut lagi. Ini peristiwa langka. Vivin harus memanfaatkannya.

“Jaketnya nanti aku cuci, Kak.” Ujar Vivin pelan. Hampir tidak terdengar. Ari sampai memajukan wajahnya untuk mendengar lebih jelas.

“Oh? Nggak usah sih sebenarnya.” Sanggah Ari.

“Nggak boleh gitu kak. Aku mau bertanggung jawab kok.” Vivin bersikukuh. Ini bukan karena Vivin punya kesempatan untuk membawa pulang jaket Ari. Ini karena Vivin ingin mendengar Ari terus berkata-kata. Suaranya yang indah. Aneh terdengar di telinga.

“Bertanggung jawab? Haha! Kayak apaan aja. Serius nggak apa-apa.” Ujar Ari tak mau kalah. Tak enak memberikan jaketnya untuk dicuci orang lain.

“Jangan gitu lah, Kak.” Bujuk Vivin. Lama keduanya terlibat tawar menawar yang alot untuk menentukan apakah jaket tersebut harus dicuci oleh Vivin atau tidak perlu sama sekali. Acara tawar menawar tersebut justru mengarah pada pengungkapan kejadian-kejadian tidak terduga. Itu karena Ari yang kehabisan kata-kata untuk bertahan keceplosan mengatakan sesuatu.

Demi mendengar kalimat keceplosan Ari, hati Vivin hampir melompat keluar. Kepala Vivin membesar karena takjub. Kulit wajahnya yang putih memerah bagai tomat rebus. Hari ini ada apa sih?

“Ya udah. Karena kamu kekeuh mau nyucikan. Jadi jaket ini pulang kembali ke orangnya donk.” Seusai mengucapkan kalimat tak terduga itu, Ari terdiam menyadari kesalahanya. Vivi pun terdiam mencerna keadaan. Jaket merah itu....

***

Ari masuk ke dalam kelas. Menemukan kotak besar di atas mejanya. Ia tersenyum. Mengingat bagaimana cara gadis itu diam-diam meletakkannya. Setelah sampai di rumah, Ari segera mengenakannya. Hangat. Tempat pertama yang ia tuju dengan jaket itu adalah rumah gadis itu. Sayang, rumah itu sepi. Ari mengurungkan niatnya untuk berterima kasih. Ia takut gadis itu akan malu sekali mengetahui Ari melihat semuanya. Maka, Ari lebih memilih tidak berterima kasih. Tidak juga mengenakan jaket itu di depannya. Hingga ia masuk perguruan tinggi. Jaket itu menjadi teman hariannya.

Vivin memegang jaket itu. Ia menimbang-nimbang ingatanya. Jika ia tidak salah mengenal, ini adalah jaket waktu itu. Jaket waktu itu.

“Maaf ya. Aku tidak pernah bilang terima kasih.” Melihat Vivin yang kebingungan. Ari mulai angkat bicara. “Terima kasih. Itu hadiah ulang tahun paling berkesan buat aku.” Tambahnya.

Vivin masih diam. Tidak tahu harus mengatakan apa. Ia seperti berada pada dua kondisi yang menyenangkan sekaligus tidak menyenangkan. Di satu sisi ia bahagia karena Ari menyimpan jaketnya dengan sangat baik. Di sisi lain ia seperti pencuri yang sudah tertangkap basah namun tetap mencuri tanpa kehilangan muka. Di keadaan seperti itu, Vivin tidak tahu harus berkata apa. Yang bisa ia lakukan hanya mencoba tersenyum. Mengerti. Kemudian pelan-pelan menjauh untuk menenangkan dirinya. Hari yang aneh di semester akhir kuliahnya ini berakhir ganjil.

***

Vivin memasukkan jaket warna merah itu ke dalam plastik. Membawanya dalam perjalanan ke kampus. Sepanjang jalan Vivin seperti kehilangan semangat. Bab satu-nya yang sudah di Acc pembimbingnya pun tak mampu merubah suasana hatinya yang terlampau kacau. Ia tidak bisa memutuskan untuk bersikap di depan Ari. Juga tak mampu memutuskan untuk tetap menyukai Ari. Vivin benar-benar malu.

Mungkin lebih baik Vivin menghilang saja. Itu lebih baik untuk menjawab kegelisahan hatinya setelah semuanya terbongkar. Bukankah itu jalan yang terbaik. Bagaimana mungkin Vivin masih berani menatap Ari dari jauh ketika orang yang ditatap tahu namun diam saja. Itu benar-benar memalukan. Kecewa. Perasaan yang selama ini ia pendam tidak menghasilkan apapun karena sejak awal memang ia telah ditolak. Betapa bodohnya ia sampai-sampai masih menyimpan rasa itu. Dan betapa teganya orang itu menyembunyikan segalanya.

Vivin melangkah pelan di parkiran. Mencari satu motor. Ia hafal sekali merek motor, warna sampai plat kendaraan Ari. Meletakkan bungkusan jaket warna merah di sana. Lalu pergi dengan sedih. Ini seperti melepaskan burung dalam sangkar. Melepaskan kesempatan emas ketika Ari ternyata mengenalnya.

Kini, hanya ada satu tujuan di depan mata Vivin. Menyelesaikan skripsinya. Sambil berjalan menuju perpustakaan, Vivin bertanya-tanya dalam hati. Apa benar lebih baik patah hati daripada skripsi nggak selesai? Entahlah.

Kampus ungu :)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline