Menyimak kasus beberapa waktu lalu tentang pemukulan guru sekolah oleh orang tua murid membuat saya termenung. Ya, saya teringat pada saat saya masih menduduki bangku SMU dahulu. Teman saya punya kasus yang serupa namun penyelesaiannya berbeda.
Saya berada di era akhir 90-an pada saat memasuki dunia SMU. Sebagai salah satu sekolah unggulan di kabupaten saya, tentunya persaingan untuk memasuki sekolah tersebut sangatlah ketat. Mengingat tidak adanya sekolah swasta bermutu tinggi, maka memasuki sekolah saya merupakan impian bagi semua anak SMP.
Namun ternyata konsekuensi pada saat mulai belajar di sekolah saya sangatlah sulit. Salah satu tantangannya adalah banyaknya guru senior yang mempunyai julukan ’galak’. Hampir separuh guru di sekolah tersebut terkenal dengan ’galak’nya. Jadwal sekolah yang sangat padat semenjak kelas satu membuat kami semua harus extra belajar jika tidak ingin mendapat urutan buncit di kelas.
Setelah menjalani masa per-plonco-an selama satu tahun di tahun pertama, ternyata perjuangan kami belum berakhir di tahun ke-dua. Tahun kedua adalah tahun untuk penentuan jurusan di tahun ke-tiga. Di tahun ini, kami akan dibagi menjadi dua jurusan yaitu IPA dan IPS. Nah, kisah tentang salah satu guru yang paling ’galak’ di mulai pada saat hari pertama di tingkat ke-dua.
Sebutlah nama guru tersebut dengan panggilan Pak ”K”. Dia adalah guru fisika kami. Kelas saya termasuk dalam urutan terakhir untuk waktu pelajaran beliau. Desas desus tentang kelakuan ’galak’ Pak ”K” telah saya dengar dari kelas lain. World of Mouth mengenai cara pengajaran beliau di kelas tetangga kami membuat kami merinding. Pada saat itu beliau akan membawa penggaris panjang yang lentur pada saat mengajar. Guna dari penggaris ini adalah untuk memukul kami apabila tidak dapat menjawab pertanyaan dari beliau. Mengingat penggaris tersebut lentur, maka rasa sakitnya tidak tertahankan apabila terkena pada punggung kami.
Dan akhirnya memang penggaris ini benar-benar digunakan pula pada saat mengajar di kelas saya. Satu kelas kami tidak ada yang berani untuk melawan beliau. Bahkan untuk melihat wajah beliau pada saat mengajar pun rasanya sangatlah takut. Kami hanya berharap jam pelajaran fisika dapat berlalu lebih cepat.
Selain insiden penggaris, ada insiden lain lagi yang melibatkan beliau. Sebagai anak SMU tentunya waktu kosong tidak ada guru merupakan impian. Istilahnya adalah jam bebas. Artinya kami bebas melakukan apapun selama jam pelajaran kosong. Suatu waktu, jam kosong di kelas sebelah kami digunakan oleh anak lelaki untuk bermain bola plastik. Tanpa diduga hal ini diketahui oleh Pak ”K”. Tentu saja beliau amat marah mengingat beliau tidak suka melihat murid keluyuran di luar kelas apalagi bermain di jam pelajaran. Akhirnya beliau menghampiri anak yang bermain bola, kemudian bole tersebut di bawa ke laboratorium kimia, dan oleh beliau bola dipotong kemudian diisi dengan cairan kimia. Alhasil bola tersebut menjadi tidak berbentuk dan membuat teman kami terpaksa menghentikan permainan bola. Selain hal itu, masih ada sejuta kata omelan serta amarah dari beliau. Dan kami sebagai murid hanya dapat diam dan tertunduk takut. Tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan kata atau berniat untuk melawan beliau.
Terakhir adalah insiden yang dialami oleh seorang teman saya yang lainnya. Saat itu pelajaran fisika dilakukan di laboratorium kimia mengingat kelas sedang mengalami renovasi. Pada suatu waktu, entah karena alasan apa, saya agak lupa, salah satu teman saya mendapat marah dari Pak ”K”. Saking marahnya beliau menggunakan pengaduk (spatula ) kimia untuk memukul kepala teman saya.
Dan hasilnya spatula tersebut patah menjadi dua. Bisa dibayangkan betapa sakitnya kepala teman saya, karena spitula seingat saya terbuat dari bahan kaca. Esoknya teman saya tidak dapat masuk sekolah karena insiden ini. Beruntungnya ayah teman saya adalah salah satu guru di sekolah kami juga. Insiden ini dibahas di dalam rapat guru dan berkahir dengan keputusan bahwa Pak ”K” tidak diperbolehkan melakukan pemukulan di kepala murid.
Jika diingat mungkin masih banyak hal lain lagi yang telah dilakukan oleh Pak ”K” yang bersifat kekerasan terhadap murid. Namun mengingat saat itu kami sangat menjunjung profesi guru, maka kami tidak mengeluh ataupun melawan. Bahkan banyak hal positif yang kami dapatkan selama tahun ke-dua tersebut.
Hal pertama yang kami pelajari adalah kami harus belajar giat sehingga tidak mendapat omelan ataupun hukuman dalam pelajaran fisika. Sebelum materi dibawakan kami telah mempelajari terlebih dahulu sehingga tidak terlalu sulit untuk mengikuti pelajaran fisika. Waktu istirahat pada saat menjelang ulangan akan kami isi dengan berlatih mengerjakan soal fisika di perpustakaan. Buku fisika menjadi buku paling laris dipinjam di perpustakaan. Bahkan kami berdiskusi dengan teman kelas lain untuk belajar fisika.