Lihat ke Halaman Asli

Raradita Prabaningrum

Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

IA-CEPA: Sebuah Ketimpangan antara Harapan dan Realita

Diperbarui: 15 Juni 2023   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement, atau lebih dikenal sebagai IA-CEPA adalah Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Australia dengan prinsip dasarnya berupa kemitraan yang seimbang dan saling menguntungkan. 

Bentuk kerja sama diplomasi ekonomi ini ditandatangani pada 4 Maret 2019 oleh Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita, kemitraan ini adalah bentuk realisasi penguatan hubungan ekonomi jangka panjang antara Indonesia dan Australia. Sebagai suatu kemitraan yang proses negosiasinya berlangsung sampai dua belas kali putaran sejak tahun 2010 sampai 2018, IA-CEPA jelas memikul harapan besar untuk terciptanya "pusat kekuatan ekonomi" di kawasan dengan menggabungkan kekuatan kedua negara.

Ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan mengapa Indonesia memutuskan untuk menjalin kerja sama ini, di antaranya; (1) Perekonomian Indonesia masih tertinggal dari para pesaingnya di pasar Australia, (2) Kurangnya integrasi global value chains di Indonesia, (3) Akses pasar produk Indonesia meluas ke Pasifik dan juga Australia, serta (4) Rendahnya tingkat investasi asing di Indonesia.

Meskipun kedua belah pihak sudah menandatangani perjanjian pada Maret 2019, Australia baru meratifikasi perjanjian pada November 2019 dan Indonesia pada Februari 2020. Dalam perjanjian tersebut dimuat tentang perdagangan bebas antara Indonesia dan Australia dengan menghapus bea masuk pada hampir semua barang yang diperdagangkan antara kedua negara, kemudahan untuk WNI pergi ke Australia untuk pelatihan kejuruan, sekaligus pemberian kemudahan bagi perusahaan Australia untuk berinvestasi di Indonesia.

Melihat keuntungan yang dijanjikan, IA-CEPA dipandang sebagai langkah signifikan dalam memperkuat hubungan ekonomi kedua negara. Namun, jika dilihat dari implementasinya, terlihat adanya kesenjangan antara ekspektasi yang dikonstruksikan dengan realita yang ada. Dalam tulisan ini, kita akan membahas beberapa aspek IA-CEPA yang menggambarkan ketimpangan tersebut.

Pertama, dalam hal paling mendasar dari prinsip kesetaraan yang dijunjung oleh IA-CEPA, pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi antara Indonesia dan Australia memiliki disparitas yang signifikan. 

Neraca perdagangan kedua negara di tahun-tahun sebelumnya selalu mengalami defisit. Pada periode Januari-Juni 2017 saja defisit neraca perdagangan Indonesia-Australia ada di angka US$ 1,67 miliar atau setara dengan Rp. 22,3 triliun yang mana hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dengan berlakunya IA-CEPA yang salah satu poin perjanjiannya adalah penghapusan hambatan dagang tarif maupun non-tarif, Indonesia sangat mengharapkan agar nilai ekspor dapat meningkat dan neraca dagang secara bertahap surplus.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 82/PMK.04/2020 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia juga telah diatur mengenai penghapusan tarif menjadi nol persen ini agar komoditi Indonesia dapat bersaing di pasar Australia. Akan tetapi, Neraca perdagangan Indonesia dengan Australia pada kenyataannya masih mengalami defisit sebesar US$3,1 miliar untuk periode Januari hingga Juli 2021. 

Defisit tersebut meningkat 45,2% dari tahun 2020 yang berada di angka US$2,1 miliar. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan melebarnya defisit neraca perdagangan karena banyaknya bahan baku industri yang diimpor dari Negeri Kanguru tersebut.

Ketimpangan dalam hal standar pasar juga sangat memengaruhi kinerja ekspor Indonesia ke Australia. Banyak pelaku usaha, utamanya UMKM, tidak mampu untuk memenuhi standar produk yang ditetapkan oleh Australia. Di samping itu biaya logistik yang relatif tinggi serta sulitnya eksportir menemukan peti kemas yang digunakan untuk pengangkutan barang ke Australia juga menghambat proses ekspor.

Padahal, pemerintah Indonesia sebenarnya telah banyak mendorong produk lokal untuk mempromosikan nama mereka di Australia. Misalnya promosi kopi gayo yang dilakukan pada kesempatan acara Melbourne International Coffee Expo (MICE) atau Indonesia Trade Promotion Centre (ITPC) Sydney yang bekerja sama dengan KJRI untuk memfasilitasi perusahaan Indonesia mengikuti acara Fine Food Australia secara konsisten sejak tahun 2014. Hal ini menunjukan masih adanya celah dalam implementasi IA-CEPA terkait perlindungan dan jaminan bagi pelaku usaha Indonesia yang hendak bertransaksi ke Australia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline