Seiring perkembangan zaman, tingkah laku masyarakat semakin berubah dengan demikian hukumpun harus mengikuti perkembangan zaman dalam mengatur perilaku warga negaranya. Banyak ditemui peraturan-peraturan yang tidak relevan lagi, dengan kata lain hukum harus mengikuti perkembangan zaman yaitu pembaharuan hukum sehingga peraturan tersebut harus dibuat untuk mengatur pola tingkah laku Masyarakat dalam batas-batas tertentu yang berjalan sebagaimana mestinya dan dapat diterima serta diterapkan dalam Masyarakat.
Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun lamanya sehingga demikian sistem hukum Indonesia berkiblat pada sistem hukum Belanda karena pada saat itu Indonesia merupakan jajahan Belanda berdasarkan asas konkordansi yang melandasi diberlakukannya hukum Belanda pada masa itu kepada Indonesia asas konkordansi bertujuan menjaga keselarasan serta kesatuan dalam sistem hukum demi menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi Masyarakat serta menghindari konflik antar peraturan hukum sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Masyarakat Indonesia yang sangat plural.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan peraturan yang mengatur perbuatan pidana secara materil di Indonesia. Penantian panjang akan adanya kitab undang-undang hukum pidana atau KUHP yang baru akan segera berakhir. KUHP sebelumnya dinilai tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan dianggap tidak memiliki kepastian hukum hal ini dikarenakan sejak kemerdekaan Indonesia, pemerintah belum menetapkan terjemahan resmi KUHP sehingga menimbulkan multitafsir dan pemaknaan yang berbeda-beda. DPR lalu menargetkan RKUHP disahkan bulan Juli tahun 2022 namun RKUHP batal disahkan kala itu karena pemerintah masih melakukan sejumlah perbaikan. Selain itu penolakan terhadap sejumlah pasal RKUHP yang dianggap bermasalah masih terus terjadi akhirnya 6 Desember tahun 2022 DPR mengesahkan rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP) menjadi undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab undang-undang Hukum Pidana meski menuai kritik dari berbagai kalangan.
Setelah disahkan, penolakan terus terjadi di kalangan Masyarakat Indonesia, salah satu pasal yang kontroversi yakni pasal korupsi sebagaimana yang kita ketahui korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Sorotan terhadap KUHP baru terkait tindak pidana korupsi dalam KUHP baru terlihat semakin memperlemah upaya penindakan terhadap pelaku korupsi. Dengan adanya pasal tersebut KPK sebagai lembaga penindakan kasus korupsi akan mengganggu jalannya kasus korupsi di Indonesia, Seharusnya undang-undang Korupsi hanya diatur di dalam undang-undang khusus yakni Tindak Pidana Korupsi.
Ada beberapa poin bahwa KPK keberatan terhadap RKUHP yang sekarang sudah menjadi undang-undang yaitu KPK menolak dimasukkannya pasal korupsi kedalam KUHP, dalam KUHP tidak ada penegasan soal kewenangan KPK dan aturan baru soal korupsi di sektor swasta tidak dapat ditangani KPK. Hal ini tentunya menjadi memperlemah upaya KPK dalam memberantas korupsi.
Pasal ini seharusnya tidak dimasukkan dalam KUHP, undang-undang tipikor seharusnya berdiri sendiri dalam suatu undang-undang yang parsial karena merupakan Lembaga yang independent dan merupakan Lembaga tindak pidana korupsi spesifik kekhususan jadi tidak bisa dimasukkan dalam undang-undang general, sehingga seharusnya dengan demikian segala sesuatu yang tidak diatur dalam KUHP maka diatur dalam undang-undang yang khusus. Ditakuti nantinya semua ketentuan khusus di judicial review sehingga sistemnya menjadi tidak benar.
Kemudian dalam pasal 2 ayat (1) tindak pidana memperkaya diri sendiri diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Juntco Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tipikor. Undang-undang tersebut menegaskan orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara diancam pidana seumur hidup atau minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun, pelaku juga diancam denda minimal Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan maksimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak hanya itu ayat (2) pasal ini bahkan menyatakan hukuman mati bisa dijatuhkan jika perbuatan korupsi tersebut dilakukan pada keadaan tertentu.
sedangkan didalam KUHP pasal 603 mengatur sanksi pidana bagi orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, maupun korporasi yang merugikan negara atau perekonomian negara Pasal ini menyatakan pelaku dihukum penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun. Pelaku juga dihukum denda minimal Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan maksimal kategori VI atau Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Dapat kita lihat perbandingan kedua pasal tersebut sangat berbeda, seakan-akan memberikan karpet merah pengurangan hukuman bagi koruptor.
Dengan demikian undang-undang mana yang akan digunakan dalam penuntutan kasus korupsi yang dimana terdapat 2 sanksi yang berbeda yang satu pidana dendanya lebih tinggi dan yang satunya lebih rendah, jika seseorang sudah berstatus sebagai terdakwa dipilih peraturan yang menguntungkan terdakwa kemudian dalam hal ini apakah akan memberikan efek jera bagi pelaku, secara kasus korupsi dewasa ini marak terjadi dengan kerugian negara Ratusan Triliun Rupiah. Hal ini justru memberikan peluang pilihan hukuman kepada pelaku korupsi untuk memberikan hukuman yang ringan. Sudah pasti seorang terdakwa memilih pasal yang akan menguntungkan bagi dirinya.
Perbandingan hukuman undang-undang Tipikor dengan KUHP ada hukuman yang memang bertambah namun jika dibandingkan sebagian besar justru pengurangan ancaman hukuman dan yang menjadi pertanyaan kenapa pasal tentang tindak pidana korupsi ini harus dipaksakan ada dalam KUHP. Seharusnya pasal korupsi tidak perlu masuk dalam KUHP karena bersifat lebih umum atau boleh saja seharusnya di dalam KUHP bahwa KPK berwenang dalam undang-undang korupsi yang ada di KUHP sehingga hal ini yang menjadi kontroversial seperti melemahkan KPK sebagai Lembaga Independen, dengan demikian pasal yang membahas tentang hukuman korupsi di dalam KUHP perlu dilakukan judicial review.
Hukuman pemidanaan bagi koruptor merupakan untuk memberikan efek jera kepada pelaku, yakni memulihkan kerugian yang disebabkan, mempromosikan pemulihan dan rehabilitasi, terutama dalam konteks hukuman pidana yang bertujuan untuk mengubah perilaku pelaku ke arah yang lebih positif. Pemidanaan merupakan bagian penting dari sistem peradilan yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan menjaga keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H