Lihat ke Halaman Asli

BANYU BIRU

Guru | Pecandu Fiksi

Nikmat Kematian | Cerpen

Diperbarui: 5 Juni 2023   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Edited by Canva

Satu per satu mereka mati. Itu harapanku. Dan apa yang kuharapkan, terwujud.

Binatang memang memiliki kemampuan alamiah untuk bertahan hidup. Kalau berani, mereka akan menggertak dengan auman atau menyalak. Mereka bisa menjadi predator bagi binatang yang lebih kecil. Namun, di antaranya ada pula yang hanya bermodal kepercayaan diri tanpa keterampilan menyerang atau berburu. Kalau memang kalah kuat secara fisik, mereka akan memilih menghindar, berkamuflase bahkan mendadak kaku atau pura-pura mati.

Aku? Aku tidak memiliki semua kemampuan itu. Aku berbeda, bahkan dari semua manusia yang pernah kutemui.

Yang kuat yang berkuasa. Yang lemah akan punah. Tetapi perlu diketahui, tempat di mana kita tinggal bukan hutan. Hukum rimba tidak berlaku. Ada kalanya yang dianggap lemah akan bangkit, menikam dari belakang, menembus dada. Ketika ia menarik pedang untuk disarungkan, nyawa sudah terpisah dari raga secara bersamaan. Dengan cara yang tak terduga mereka akan menghadang siapa pun yang menghalangi jalannya. Ia tidak akan terhentikan, sampai lawan kalah telak dan ia membawa penyesalannya sampai ke neraka.

Aku tidak menyukai bau anyir darah. Namun, belakangan ini aku begitu menikmati aroma kematian seperti sedang menghidu aroma kopi hangat kala senja. Kematian menjadi sebuah kekuatan yang membuat candu. Serius. Apa lagi mereka berteriak, menjerit, menangis, kadang-kadang mereka berlagak punya nyali tetapi kemudian mulai putus asa. Sungguh, momen-momen itu tidak akan bisa diganti oleh apapun.

Pukul sebelas malam, sudah dapat dipastikan, kantuk akan mulai datang. Dan saat mata mulai terpejam, alam bawah sadar mulai bekerja. Dulu kupikir itu semua adalah mimpi, nyatanya bukan. Semuanya ada dalam kendaliku. Seperti kataku sebelumnya, ketakutan terbesar bisa menjadi kekuatan terbesar pihak lain untuk menghancurkan, termasuk merenggut nyawa.

Saat mata kupejam, aku memanggil bocah-bocah yang sering merundungku. Mereka ada dua orang tetapi aku mau mereka mati satu per satu dulu. Si botak ini, aku lebih membencinya. Tanpa dia Si Mata Besar tidak ada apa-apanya, ia seorang pengecut yang mencari aman di balik bayang-bayang kawannya. Jadi, pelajaran khusus untuknya nanti saja.

"Di mana ini?" gertaknya.

Aku tak mau langsung menjawab. Biarkan ia memahaminya sendiri. Biarkan ia menatap senyum sinisku lamat-lamat. Mata mencemooh itu biarkan beradu pandang dengan mataku. Ia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dunia yang hitam ini duniaku. Aku tidak perlu melorotkan topi sampai ke alis demi menghindari kontak mata dengannya. Aku tidak perlu berusaha berjalan cepat saat berpapasan dengannya. Ia tidak bisa dengan mudah menelenjangiku karena ini bukan jam olah raga. Biarkan ia meneriakiku 'si tante', 'banci' dan 'homo' supaya ia menikmati detik-detik terakhirnya.

"Anjing! Jawab!" bentaknya lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline