Lihat ke Halaman Asli

BANYU BIRU

Guru | Pecandu Fiksi

Cerita Sepasang Mata di Kebun Karet

Diperbarui: 4 September 2022   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Edited with Canva

Ayahku adalah pendongeng yang hebat. Kalau sudah bercerita, ayah begitu lihai mengubah suaranya. Suaranya bisa diatur menjadi suara berat penuh wibawa, suara melengking anak kecil atau suara wanita yang centil. Kemampuan itu membuat Ayah mendalami peran apa saja di dalam cerita. 

Kadang-kadang jadi mas-mas penjual sayur keliling, kadang jadi pejabat yang berwibawa, kadang juga jadi wanita karir yang tegas. Kalau sudah bercerita, Ayah seakan-akan lupa kalau dia adalah seorang penderes yang bekerja pada juragan karet bernama Pak Suri. Penderes yang harus siap menelan ludah kalau datang musim penghujan. Getah karet akan dengan senang hati meluap dari tempurung penampungannya. Kadang Ayah kena semprot amarah Pak Suri karena Ayah tidak sanggup menahan keluhan titik air pada awan yang manja untuk segera meluncur ke permukaan bumi.

Ayah dan Ibu bukan orang kaya, tetapi aku orang kaya. Kamarku adalah istanaku. Dalam kotak dua kali tiga meter persegi, aku menciptakan duniaku sendiri. Buku-buku menjadi tempat petualangan paling menyenangkan. Ayah dan Ibu memberikan aku jatah satu buku dalam sebulan. Kalau ada rejeki lebih, bisa jadi dua buku. Aku suka buku fiksi. Bagiku fiksi adalah jalan bercerita tentang fakta yang menyenangkan. 

Aku bisa menjadi pelaku utama, kadang hanya jadi pengamat. Namun, pada jam sembilan malam aku akan menjadi pendengar yang budiman untuk mendengarkan cerita dari pendongeng ulung hingga akhirnya aku memasuki dunia mimpi, duniaku yang lain.

Kesepian. Rasa itu seringkali menyergapku ketika berada di dalam kerumunan bocah-bocah seusiaku. Aku merasa berbeda dengan teman-teman sekelasku dan aku merasa kelas ini mengurungku dari duniaku sendiri. Saat guru mengajar, aku hanya bisa melihat gerak bibir mereka sedangkan suara mereka tak ubahnya seperti dengungan lebah. Otakku tidak bisa memproses informasi yang aku dengar. Aku hanya menunggu waktu pulang, masuk ke kamar dan aku bisa belajar dengan caraku sendiri. Sayangnya, jarum jam sepertinya ikut-ikutan mengejekku. Untuk melompat satu detik saja seakan sengaja diperlambat.

***

Sudah beberapa malam berlalu. Ayah sudah jarang menutup pintu kamarku saat aku sudah memasuki alam mimpi. Pintu kamar yang terbuka di pagi hari menandakan Ayah tidak masuk ke dalam kamar sama sekali. Ayah biasanya tidak pernah melewatkan ritualnya di kamarku.

Entah karena apa, mata Ayah menyiratkan sendu. Bibirnya jarang menunjukkan lengkungan bahkan saat mencium keningku sebelum berangkat ke sekolah. Wajah murung Ayah tentu saja mengganggu pikiranku, tetapi tidak ada keberanian untuk menanyakan sendiri kepada Ayah atau Ibu, lebih tepatnya aku takut membuang waktu mereka karena masalah orang dewasa masih sulit dicerna oleh otakku yang kecil ini.

"Ayah...," seruku girang saat melihat Ayah memasuki pekarangan rumah. Alih-alih melempar senyuman, Ayah hanya mengusap kepalaku dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia bahkan tidak menatapku atau memelukku.

"Hera sudah lama menunggumu di depan pintu." Aku mendengar Ibu memberitahu Ayah.

Tanpa memberikan respons kepada Ibu, Ayah malah menyuruh Ibu untuk menyediakan kopi selagi ia masuk ke kamar mandi. Wajah Ayah sebelum dan sesudah mandi sama saja, kusut dan tidak segar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline