Aku sudah bertahun-tahun hidup bersama keluarga Renata. Aku tahunya mereka keluarga yang bahagia. Aku menyaksikan Renata sewaktu menangis digonggong oleh anjingnya sendiri. Kakinya yang gemuk tidak sanggup lagi berjalan saking takutnya, kemudiaan derai tawanya mengambang saat sang ayah datang, menaruhnya di pundaknya lalu masuk ke dalam rumah.
Dari tempatku berdiri ini, aku juga pernah menyaksikan Renata melompat kegirangan saat pulang sekolah. Duduk di ayunan, membuka surat yang ia temukan di laci meja belajarnya.
Ah, aku ingat rona merah wajahnya, tersimpul malu sambil menempelkan surat itu ke dadanya, seakan sedang memeluk sosok dibalik surat itu.
Suatu hari dimasa remajanya, derai tawa Renata yang ceria berubah menjadi tangis tertahan, membekap mulutnya sendiri.
Keluarga Renata yang bahagia sedang menjamu tamu petaka bahkan ayah ibunya tidak pernah lagi bermain bersama kami.
Aku menikmati hari-hari bersama Renata, Renatapun demikian. Tetapi Renata yang sekarang bukan lagi Renata kecil yang ceria. Hingga di suatu sore yang mendung, Renata mendatangiku, katanya ia ingin bermain denganku. Ia menjeratku dengan tali lalu menariknya, memastikan tali itu tidak akan terlepas lagi.
Renata memang susah ditebak, Ia bukannya bermain denganku malah bermain-main dengan maut. Ia menggantung di dahanku. Menggeliat kesakitan hingga akhirnya menyerah.
Sekali lagi di sore yang mendung, aku menjadi saksi kisah keluarga Renata. Keluarga yang tidak lagi bahagia karena bahagia mereka adalah Renata. Renata yang ceria kini menggantung kaku tak bernyawa.
01.57 a.m
11 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H