Lihat ke Halaman Asli

BANYU BIRU

Guru | Pecandu Fiksi

Refleksi

Diperbarui: 20 Juli 2019   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laptop bang Pael (dokpri)

Sekarang ini, aku sedang duduk di teras rumah sederhana sambil menyeruput secangkir kopi. Dengan teliti, kuperhatikan wajah bocah kecil kami yang sungguh mirip denganku. Ia berumur 15 tahun. Aku mulai membayangkan wajahnya pertama kali ketika ia menangis dipelukan perawat dulu saat ia baru lahir. Sungguh berbeda sekali. Sekarang wajahnya sudah mulai terlihat dewasa dan matang dan ia sedang dalam masa-masa pertumbuhannya menjadi seorang pria yang gagah dan tangguh dan tentunya harus lebih baik dari ayahnya.

Bocah itu segera masuk ke dalam rumah karena panggilan ibunya. Ia memang anak yang rajin dan patuh kepada orang tua. Ia selalu menuruti setiap nasihat ibunya. Kugeleng kepala sambil tersenyum bahagia jika kuperhatikan anak itu. Aku bersyukur memiliki mereka dalam hidupku.

Mataku menatap ke arah langit malam di mana sang purnama mulai menghilang. Seberkas ingatan melintas dipikiranku dan membawaku untuk menelusuri masa lalu. Aku sangat berbeda jika aku ingat masa itu dimana aku hidup dengan keegoisan seorang berandalan sekolah yang merasa bangga jika sudah ditegur. Begitulah dulu aku mencuri perhatian dari setiap orang.

Merupakan sebuah kebahagiaan bagiku bisa satu kelas dengan orang-orang yang mempuyai hobi sama denganku. Kami bisa melakukan hal-hal konyol yang membuat kami senang. Bagi kami kebersamaan adalah hal yang terpenting dalam persahabatan bahkan dalam hal-hal buruk sekalipun. Hobi kami dulu adalah merokok di kantin sekolah, melompat pagar, mencontek, kerja sama saat ujian adalah hal yang biasa.

Semua berubah total saat aku memasuki kelas tiga SMA. Tiba-tiba pikiranku berpikir tentang masa depan. Masa depan katanya tidak bisa ditebak dan perbuatan yang aku lakukan akan berdampak pada masa depan. Dan seoertinya memang demikian. Catatan kenakalanku sudah menumpuk bahkan gurupun lelah untuk merekap itu semua. Dan yang pasti adalah aku sudah buruk dipandangan semua guru.

Aku tak begitu yakin akan masa depan. Tidak ada yang mendukungku untuk memperbaiki hidup, bahkan ketika aku membulatkan tekat untuk melanjutkan ke universitas, guru-guru disekolahku menunjukkan raut wajah yang sinis dan tak memberi restu. Teman-teman juga mengejekku seakan mereka menganggap remeh tentang keputusanku. Pada akhirnya, aku tetap melanjutkan niatku dan mengambil ilmu pendidikan.

Aku berdiri di depan kelas dengan menghadapi manusia yang benar-benar hidup dan memiliki karakter yang berbeda-beda. Aku menemukan murid yang mengingatkanku dengan tingkahku dulu. Aku mulai percaya dengan hukum tabur tuai yang sering dibicarakan orang-orang tua dan para guru dulu. Hanya satu yang kutahu, aku hanya ingin bisa dekat mengenal mereka karena ada sesuatu dibawah gunung es yang tak tampak dalam lautan.
Ayah! Sontak lamunanku buyar dengan panggilan bocahku untuk memanggilku karena malam semakin larut. Aku masuk dengan berkata pada sang bintang. Ingatlah perubahan akan selalu ada dan kau masih bisa hidup dalam perubahan yang kau buat sekalipun orang lain tak peduli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline