Siapa yang tak ingat masa-masa dulu ketika televisi menjadi salah satu penentu derajat orang yang memiliki. Televisi meningkatkan gengsi dan iri hati. Televisi mejadi alasan berbangga diri dan berasa paling diingini.
Layar kecil bukan masalah, bobot yang berat tak ada yang peduli yang penting punya televisi dan bisa menampilkan aktor aktor yang lihai dalam memerankan sandiwara. Serasa dihipnotis, orang yang melihatnya pun ikut-ikutan penuh sandiwara dengan peran protagonis maupun antagonis dibawah atap mereka. Persis seperti alur cerita yang dibangun dengan bumbu-bumbu melawan logika.
Mereka mempraktekkannya pada anak-anak kecil yang dengan antusias berlari menghampiri pintu terbuka dimana di dalamnya ada tivi yang sedang menyala. Mereka tak peduli apa yang sedang ditayangkan. Mereka hanya ingin masuk. Akan tetapi sang pemilik tak kalah cepat. Ketika mendengar suara bocah-bocah itu, dengan sigap mereka menutup pintu. Seperti adegan dongeng Cinderella dengan ibu tiri yang jahat, anak-anak itu merengek pilu dengan harapan pintu segera dibuka. Percuma. Ternyata mantra yang menghipnotis mereka cukup kuat. Mereka tak punya rasa iba pada anak-anak itu lagi.
Mari kita beralih pada ibu-ibu yang ada dirumah sana. Mereka dengan asyiknya menikmati sinetron-sinetron yang menurut mereka penuh dengan adegan menegangkan melebih horor dan film pembunuhan.
Sensasi ketegangan itu akan mencapai puncaknya ketika semua adegan harus diperlambat dan berujung iklan yang menyebalkan. iklan-iklan itu sontak membuat mereka menjadi seperti orang-orang dengan gangguan kejiwaan. Mereka akan berdebat tentang adegan-adegan selanjutnya yang ingin disaksikan. Mengharap tokoh favoritnya bertindak seperti apa yang mereka inginkan. Kadang mereka berkata kasar atau berkata sembrono, tak peduli disitu ada tuan rumah, suami dari sang istri penyeda tempat tongkrongan itu.
Tak ada yang mengira semakin hari televisi semakin merajalela. Orang yang dipandang sebelah mata sudah punya TV sendiri. Tak ada lagi mata yang diam diam mengintim dari jendela demi menikmati satu adegan di layar kaca.
Tidak ada lagi bocah-bocah kecil yang menunggu pintu dibukakan hingga larut dan ternyata pintu tak kunjung dibuka. Tidak ada lagi gunjingan-gunjingan ibu-ibu dimana rumah seperti tongkrongan anak-anak muda. Semuanya hilang sudah. Sekarang orang-orang itu sudah duduk dirumahnya sendiri, menyalakan tivi sambil bercengkerama, tengkurap, duduk, ah terserah mereka posisinya bagaimana. Yang jelas tivi sudah masuk rumah mereka.
Kalau saja orang-orang tadi sadar diri tak ada gunanya mermegah diri, lihat anak-anak itu kini. Mereka lebih maju dengan gadget di tangan mereka. Mereka tinggal usap layar mereka bisa menonton apa yang mereka mau. Tak perlu remot batangan yang mengundang pertikaian hanya karena channel yang disukai. Ah kalau diingat-ingat dulu.
Kadang remotenya saja harus disembunyikan agar adik-kakak tak sampai berkelahi, agar suami istri tak sampai perang dingin. Sekarang mungkin orang-orang tak butuh televisi. Sekarang jamannya orang klik, cari dan tonton sendiri. Hm, memang natur manusia. punya sedikit langsung berbangga diri, tak punya eh malah iri, kira-kira apa yah yang akan terjadi? Ah Sudahlah. Kita lihat saja nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H