Lihat ke Halaman Asli

Marhaenisme

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah ideologi dapat dipecah menjadi kata idea dan logos. Secara harfiah dapat diartikan sebagai aturan atau hukum tentang ide. Pengertian tentang ide dapat dirunut asalnya ke konsep idea dan ‘dunia idea’ dari Plato, filsuf besar Yunani yang hidup di abad ke-3 SM. Idea di ‘dunia idea’ dalam pandangan Plato merupakan kebenaran sejati, rujukan bagi benda-benda yang ada di dunia fisik yang ditempati manusia sekarang (Takwin, 2003: 10). Dengan pengertian ide sebagai kebenaran hakiki, maka pengertian ideologi adalah hukum tentang kebenaran sejati.

Sebagai seorang pemikir modern Indonesia, Soekarno merupakan figur terpenting dan terbesar. Hal itu bukan karena kualitas pemikirannya yang orisinil dan brilian. Dalam hal itu ada beberapa tokoh yang dapat bersaing dengannya, seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka. Tetapi dalam hal kekuasaan pengaruhnya tidak ada duanya. Hal itu dimungkinkan karena Soekarno ditunjang oleh kemampuan menuangkan pikiran yang jernih ke dalam berbagai tulisan dan menyampaikan kepada massa pendengarnya dalam gaya bahasa yang amat menarik dan mudah dimengerti (Kasenda, 2010: 2).

Suatu hari di bumi Priangan, Bung Karno muda berjumpa dengan seorang petani gurem bernama Marhaen. Perjumpaan itu kelak menjadi momentum penting berupa munculnya paham Marhaenisme. Paham untuk membela nasib wong cilik - petani kecil tak berlahan atau petani gurem, buruh pabrik, dan siapa pun yang tidak memiliki sarana produksi. Kelak menjelang wafat, Bung Karno mewasiatkan agar jenazahnya dimakamkan di sebuah bukit di Priangan, dimana beliau bisa berdekatan dengan kaum Marhaen yang senantiasa dekat di hati beliau. Sayang, rezim Soeharto tidak mengizinkan keinginan itu.

Marhaen adalah mereka yang dieksploitasi oleh karena tidak menguasai fakor produksi (Maria, 2004: 5). Marhaen adalah kemiskinan itu sendiri. Dewasa ini, kemiskinan banyak dibicarakan sebagai tema-tema anonim yang tidak langsung menampakkan wajah si Noyo atau si Kromo. Dalam Marhaenisme, kemiskinan memiliki wajah. Kemiskinan adalah persoalan riil dalam hidup sehari-hari. Si miskin itulah yang harus dibela, diperjuangkan nasibnya!

Berkaitan dengan istilah Marhaen, John D. Legge mengatakan bahwa istilah itu sudah biasa digunakan sejak 1927 dan sesungguhnya tidak lebih dari kata yang sama dalam bahasa Sunda untuk kata Jawa “Kromo” (Legge, 1985: 481). Pendapat yang hampir serupa juga diungkapkan oleh John Ingleson (Ingleson, 1986: 213) yang menyebutkan bahwa kata Marhaen adalah adalah suatu kata dalam bahasa Sunda yang digunakan Sarekat Islam pada akhir 1910-an dan awal 1920-an yang berarti “petani kecil”. Pendapat yang bertolakbelakang dengan pendapat di atas adalah pendapat yang dinyatakan oleh Bernhard Dahm. Menurut pendapatnya (Dahm, 1976: 143), sampai pada 1930-an istilah Marhaen belum pernah didengar. Kata itu mulai tersebar luas ketika Soekarno menggunakannya di dalam pidatonya yang berjudul Indonesia Menggugat. Selanjutnya Dahm menjelaskan bahwa sampai akhir 1930 ungkapan yang biasa dipakai untuk menyebut rakyat kecil adalah kaum “kromo” yang kerap digunakan oleh PKI. Tetapi untuk maksud yang sama PKI sering menggunakan kata “proletariat” (Kasenda, 2010: 49). Di mata Soekarno, istilah proletariat tidak sesuai dengan situasi yang ada di Indonesia. Maka ia merasa senang menggunakan kata Marhaen. Ada kemungkinan Soekarno menggunakan istilah itu untuk menolak tuduhan bahwa PNI identik dengan Partai Komunis Indonesia.

Pemikiran tentang rakyat kecil merupakan suatu sumbangan yang khas dalam pemikiran Soekarno, walaupun hal itu bukan merupakan sesuatu yang amat penting. Dapat dikatakan bahwa konsep yang diajukan itu merupakan suatu penilaian yang jujur terhadap sifat masyarakat Indonesia. Marxisme telah memberikan kepada Soekarno alat yang amat penting guna melakukan analisis sosial dan dalam pengkajian tentang sifat kekuasaan kolonial. (Legge, 1985: 122). Dalam Indonesia Menggugat, Soekarno secara tajam membedakan Marhaen-nya dengan konsep proletarnya. Menurut pandangan Soekarno, struktur masyarakat Indonesia belum industrialis seperti di Barat. Bedanya adalah massa Marhaen tidak terdiri dari satu kelompok saja, tetapi beragam kelompok kecil seperti: petani kecil, penguasaha kecil, buruh kecil, nelayan kecil, dan sebagainya yang semuanya kecil, sama-sama menanggung beban akibat kekejaman imperialisme. Semua rakyat kecil itu dinamai kaum Marhaen. Konsep semacam ini membenarkan pendapat Soekarno, “…Tidak ada suatu kelas industri dan golongan menengah Bumiputra sebagaimana di Hindustan yang kini menjadi Indonesia…”. Jadi ketiadaan golongan borjuis nasional seperti di India, tidak memungkinkan untuk mengadakan boikot ekonomi atau swadeshi seperti di India – Kata Soekarno – dan Belanda lebih berkepentingan untuk memperoleh bahan-bahan daripada menjual hasil industri.

Soekarno secara cerdik menggunakan analisis sosial Marx pada kondisi masyarakat Indonesia. Ia melihat tiada perlunya konsep proletar serta menganggap pentingnya arti massa rakyat. Ini sesuai dengan pandangannya tentang perlawanan terhadap imperialisme. Ia melihat bahwa bentuk perlawanan itu seharusnya tidak mengandung unsur-unsur ketegangan kelas seperti yang diyakini PKI, tetapi lebih menitikberatkan pada perjuangan antara kutub ekstrim, yaitu masyarakat Indonesia sebagai suatu keseluruhan melawan kekuasaan kolonial Belanda (Legge, 1985: 127).

Konsep Marhaen ini bagi Soekarno telah memecahkan suatu masalah yang selama bertahun-tahun merisaukannya. Di depan kongres Jong Java di Bandung pada 1921, Soekarno mengemukakan bahwa suatu perjuangan kelas dalam masyarakat Indonesia sudah tidak terelakkan lagi. Walaupun demikian ia tidak puas dengan pandangan itu. Akhirnya ia menemukan konsep Marhaen yang memungkinkannya untuk lebih menempatkan perjuangan itu ke dalam pengertian kelas secara nasional.

Dari kata Marhaen itulah timbul konsep “Marhaenisme” yang merupakan suatu paham yang secara praktis meliputi setiap orang Indonesia yang berkehendak untuk mengadakan perubahan hidup kaum Marhaen. Dengan adanya konsep itu, ia tidak hanya bertindak di atas kepentingan salah satu kelompok, tetapi merupakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Ia hendak menyatukannya di bawah pengertian marxisme. Sikap inilah yang Dahm sebagai Common Denominator (Dahm, 1976: 143-145).

Semua yang diuraikan Soekarno menunjukkan bahwa tampak sekali jasa-jasa Soekarno di samping kekurangannya bagi negara dan bangsa karena telah berhasil menyumbangkan kepada rakyat Indonesia suatu ideologi yang ia telah majukan dalam bentuk istilah-istilah dan definisi pada masa PNI dan Partindo yang sebenarnya memang telah berakar dalam cita-cita bangsa Indonesia sendiri (Soenario, 1988: 43). Maka dari itu PNI tidak dapat mengikuti tafsiran pribadi Soekarno bahwa seolah-oleh Marhaenismelah “Marxisme yang diterpakan pada situasi dan kondisi Indonesia dan tafsiran ini belum pernah masuk dalam dokumen PNI (1927)”. Dalam Kongres Pemuda Demokrat IX di Solo pada tanggal 25 Oktober 1958, Soekarno mengatakan demikian: “Asas Marahaenisme yang saya terapkan kepada situasi, kondisi, dan sejarah Indonesia”. Dikemukakan hal ini tidak mengurangi penghargaan dan penghormatan terhadap Soekarno dalam perjuangan dan penderitaannya sebagai pengorbanan bagi bangsa dan tanah air dan juga tidak menyampingkan pemikir-pemikir lainnya seperti Moh. Hatta, Muh. Yamin, Mr. Soebardjo, dan lain-lain.

Daftar Rujukan

Dahm, Bernhard. 1976. Sukarno and the Struggle for Indonesian Independence. Ithaca: Cornell University Press.

Ingleson, John. “Sukarno, PNI, dan Perhimpunan Indonesia”dalam Colin Wild dan Peter Carey (ed.). 1986. Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: BBC dan PT. Gramedia.

Kasenda, Peter. 2010. Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933. Jakarta: Komunitas Bambu.

Legge, Jhon D. 1985. Sukarno: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan.

Maria. 2004. Pokok-pokok Ajaran Marhaenisme Menurut Bung Karno. Yogyakarta: Media Pressindo.

Soenario. 1988. Banteng Segitiga. Jakarta: Yayasan Marinda.

Takwin, Bagus. 2003. Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline