Lihat ke Halaman Asli

Menguasai atau Berpartisipasi? Tentang Krisis Kebudayaan Teknokratis dan Keharusan untuk Mengembangkan Suatu Etika Masyarakat Teknologi Baru

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah kita sudah ketularan sindrom lemming? Yang menarik pada lemming-lemming itu bahwa mereka, sambil maju untuk binasa, melanjutkan kehidupan biasa: lari ke sana kemari, mencari makanan, berkembang biak. Tahu-tahu mereka sampai ke laut dan binasa. Kemarin harga tinggi minyak bumi membuat orang mengusahakan penghematan energy; hari ini harga minyak bumi turun, maka usaha itu dilupakan.

Negara-negara berkembang terjepit dalam dilema yang lebih tajam lagi: berhadapan dengan masalah-masalah yang amat mendesak maka pembangunan berdasarkan teknologi menurut pola Barat menawarkan diri sebagai satu-satunya jalan keluar (dimana sebaiknya kita ingat bahwa kebanyakan masalah negara-negara berkembang merupakan akibat dampak kebudayaan teknokratis Barat). Mengingat kita bergerak maju ke arah laut, tetapi belum sampai, ada baiknya kita bersama-sama memikirkan kembali opsi-opsi kita sebelum mengikuti masa lemming itu. Keterbatasan sistem bumi merupakan masalah global yang serius, dan bahwa masalah itu hanya dapat kita tanggulangi apabila kita, di samping mencari teknik-teknik dan mekanisme-mekanisme ekonomis baru, mengubah cara kita berpikir.

1. Sejarah Pendekatan Teknokratis

Kebudayaan teknologis modern jelas berkembang di Eropa. Ada tiga tahap kelahirannya; (1) Renaissance, bantingan perspektif kebudayaan di Barat yang sama kerasnya dengan bantingan gambaran sistem planet tradisional oleh Copernicus. Penemuan kembali kebudayaan prakristiani Yunani dan Romawi melepaskan manusia dari tempatnya sebagai salah satu unsur dalam ordo atau tatanan hirarkis alam semesta dan menempatkannya sebagai pusat dunia; (2) Rasionalisme, abad ke 16 ilmu-ilmu alam membebaskan diri dari ikatan sikap hormat terhadap tradisi: melalui pengamatan, perbandingan gejala, eksperimen, klasifikasi, pengukuran, dengan metode pembentukan hipotesis dan falsifikasi empiris ‘rahasia-rahasia alam’ mulai tersingkap; (3) Revolusi industri, lepas landas dengan pembuatan mesin uap pertama oleh James Watt tahun 1765. Persediaan energi tidak terbatas lagi oleh kekuatan fisik manusia atau binatang. Memaksa setiap usaha yang tidak mau tersingkir untuk bekerja seefisien mungkin, untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya supaya dapat ditanamkan kembali dalam perusahaan dengan cara memakai setiap kemajuan teknologi demi untuk lebih meningkatkan lagi efisien produksi. Sistem itu membuat perhatian terhadap masa depan menjadi irasional.

2.Kebudayaan Teknokratis

Manusia memandang alam sebagai sesuatu yang perlu ditaklukkan dan dikuasai. Pandangan ini bersumber pada pandangan Renaissance yang menempatkan manusia di pusat alam semesta. Ia kehilangan kesadaran akan batas-batasnya sendiri. Manusia menghayati diri sebagai tuan, penakluk, penguasa, pemenang, pencipta, secara kerdil ia ingin meniru Penciptanya. Kebudayaan yang lahir selama dua ratus tahun pertama usaha teknologis manusia dapat disebut teknokratis. Techne, kepandaian manusia untuk mengerjakan sesuatu, dijalankan dengan tujuan untuk kratein, untuk menguasai. Jadi ada perbedaan antara ‘teknologis’ dan ‘teknokratis’. ‘Teknologi’ adalah ilmu mengenai pengetrapan ilmu-ilmu alam demi kebutuhan manusia dan harus diteruskan. ‘Teknologis’ sebagai salah satu pendekatan teknologis tertentu, yaitu dimana manusia hanya tahu menguasai dan menaklukkan; pendekatan teknokratis adalah cara kekanak-kanakan manusia berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan yang dibuka oleh teknologi.

Kesimpulannya kemungkinan-kemungkinan mengagumkan yang disediakan dalam teknologi bagi manusia, hanya akan dapat kita pergunakan dengan aman apabila kita sanggup untuk mengubah cara berpikir: (1) kita harus mendefinisikan kembali apa sebenarnya arti “kemajuan” bagi manusia. (2) Kita harus mengembangkan dan membatinkan sikap-sikap etis baru terhadap alam. (3) Kita harus menggantikan pendekatan monokausal dengan pendekatan sistem.

Sumber: Suseno, Franz Magnis. 1986. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline