Lihat ke Halaman Asli

Siapa Sebenarnya Relawan?

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14131780201647625962

[caption id="attachment_366062" align="aligncenter" width="624" caption="Presiden terpilih Joko Widodo saat melakukan selfie dengan para relawan dalam acara Halal Bihalal, di Kembang Goela Resto, Jakarta, Minggu (3/8/2014)/Kompasiana"][/caption]

Oleh: Ranto Sibarani, S.H

Joko Widodo atau Jokowi yang awalnya hanya dikenal sebagai Walikota Solo, lambat tapi pasti pengaruhnya mulai menyebar. Bagaimana tidak, laki-laki kelahiran Solo, 21 Juni 1961 ini dalam waktu singkat dan berturut-turut menjabat empat periode jabatan strategis yang tidak banyak orang bisa mencapainya. Sejak tahun 2005 menjadi Walikota Solo dua periode, menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 dan akhirnya memenangkan Pemilihan Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014, Jokowi akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 nanti.

Meski banyak tuduhan bahwa dirinya hanyalah boneka dari politisi tertentu, namun Jokowi melewatinya dengan baik. Saat mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 banyak tuduhan yang dibuat untuk menyerang Jokowi, saat itu banyak politisi bersatu hanya untuk menjegal Jokowi, kita  masih mengingat dengan jelas bagaimana Hidayat Nurwahid, mantan Ketua Umum PKS yang menjadi rival Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta mengatakan bahwa dia tidak akan mendukung Foke yang sebelumnya telah berseteru dengannya. Namun beberapa lama kemudian, Hidayat Nurwahid malah mendukung Foke, dengan banyak alasan yang menyudutkan Jokowi. Namun Jokowi akhirnya dipilih rakyat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Apakah rakyat sedang menjadi “hakim” disitu? Bisa ya, karena pada saat pencalonan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, rakyat berduyun-duyun menjadi relawan yang bekerja siang malam hanya untuk kemenangan Jokowi. Rakyat berhasil, Jokowi-Ahok menjadi Pemimpin Jakarta.

Popularitas Jokowi tidak muncul begitu saja, saat menjabat menjadi Walikota Solo dia berhasil membuat Solo menjadi kota pariwisata yang aman, bersih, berhasil memindahkan pedagang dengan dialog tanpa menggusur paksa dengan prinsip nguwongke wong atau memanusiakan manusia. Memenangkan pemilihan Walikota Solo periode kedua dengan kemenangan 90,09%, tanpa banyak kampanye, suatu kemenangan yang luar biasa ditengah-tengah issu maraknya money politic pada saat ini. Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta langsung menekan biaya pelantikan yang anggarannya 1,05 Milyar Rupiah menjadi 500 Juta Rupiah, menjadikan DKI sebagai satu-satunya kota yang laporan keuangannya dapat diperiksa secara on line setiap saat oleh BPK RI. Menjadikan waduk Pluit berfungsi dengan baik, Pasar Tanah Abang menjadi bersih dan nyaman, membangun rumah susun untuk rakyat, memberikan Kartu Jakarta Sehat, dan banyak prestasi lainnya yang sangat langka  dan jarang dilakukan oleh pejabat publik lainnya.

Lahirnya Relawan

Pada saat rakyat menyadari perubahan-demi perubahan yang dilakukan oleh Jokowi, baik saat memimpin Solo maupun diawal kepemimpinannya di Jakarta, rakyat mulai sadar bahwa Jokowi memang layak dijadikan sebagai Presiden, melebihi kapasitas banyak Calon Presiden yang ditawarkan oleh Partai Politik. Kemudian beberapa komunitas masyarakat sipil mulai berani menyuarakan agar Partai Politik dalam hal ini PDI Perjuangan untuk menetapkan Jokowi sebagai calon Presiden. Kuat dugaan bahwa desakan masyarakat luas inilah yang akhirnya mempengaruhi Megawati Ketua Umum PDI Perjuangan akhirnya menetapkan Jokowi sebagai Calon Presiden yang diusung bersama-sama dengan 3 Partai lainnya yaitu Hanura, PKB dan PKPI.

Awal pencalonan Jokowi ini kita disuguhi dengan dinamika yang beragam, mulai dari kabar tentang putri mahkota Keluarga Megawati, Puan Maharani yang mengusir Jokowi dari kediamannya karena tidak sepaham tentang siapa yang akan memimpin relawan. Berhembus kabar bahwa Jokowi tidak ingin gerakan relawan yang mandiri tersebut harus melaporkan kegiatannya kepada Puan yang menjabat sebagai Tim Pemenangan Jokowi menjadi Capres. Selain dinamika internal tersebut, kita melihat bagaimana Jokowi disudutkan dengan tuduhan PKI, suatu tuduhan yang sudah tidak relevan paska CIA membongkar keterlibatan negara Amerika dalam membangun skenario yang dikenal sebagai kudeta merangkak tersebut. Jokowi bahkan dituduh beragama Kristen, suatu hal yang sangat ironis di negara hukum seperti Indonesia, apakah Kristen tidak boleh menjadi Presiden di negeri ini? Bagaimana pula Atheis atau penganut kepercayaan? Apakah hanya agama tertentu yang boleh menjadi Presiden?

Parahnya lagi, gerakan untuk menghina Jokowi semakin massif, bahkan kita melihat bagaimana ratusan ribu Tabloid Obor dicetak dan disebar dikantong-kantong massa di Pulau Jawa. Tabloid Obor adalah tabloid yang isinya kebanyakan mempersoalkan agama Jokowi, tuduhan bahwa dia tidak Islam dan lain-lain. Namun rakyat tidak bergeming dengan tuduhan-tuduhan tersebut, rakyat sudah bijak dan mampu menjadi “hakim”  bagi dirinya sendiri untuk menentukan pilihan politiknya.

Semua hal itu menjadikan rakyat sadar, banyak pihak yang merasa terancam dengan kehadiran Jokowi sebagai Calon Presiden. Karena itu, rakyat yang sadar tadi mulai bergerak, membentuk barisan, berlomba-lomba mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi, tanpa pamrih, karena itu mereka menyebut dirinya relawan, rela menyisihkan waktu, tenaga dan materinya untuk memenangkan Jokowi. Rakyat bahkan berlomba-lomba mengirimkan dukungan dananya ke rekening Jokowi. Hal itu tidak lebih sebagai cara untuk membuktikan bahwa di negeri ini masih banyak orang yang sadar, yang menginginkan perubahan, yang terwakili oleh sosok Jokowi.

Siapakah Relawan Jokowi?

Rakyat yang menginginkan perubahan untuk republik ini dan tidak memilki peranan penting di Partai Politik, yang bekerja untuk memenangkan Jokowi dengan menghabiskan waktu, materi dan tenaganya hanya untuk membuat Jokowi dengan ide-ide perubahannya diterima oleh orang banyak, merekalah Relawan Jokowi. Mereka tidak seperti anggota Partai Politik yang harus memiliki kartu anggota, lagi pula kader partai politik sudah wajib harus mendukung Calon Presiden yang diusung oleh Partainya. Tidak demikian dengan relawan, relawan bebas menentukan pilihan. Relawan berkumpul jika perlu, saling berkomunikasi, merumuskan agenda bersama, melaksanakannya, mengukur dengan caranya sendiri bagaimana penerimaan rakyat banyak terhadap Jokowi, mempengaruhi orang-orang yang belum memiliki pilihan agar memilih Jokowi, merekalah Relawan.

Relawan bukanlah pengikut Jokowi secara fisik, namun relawan memiliki kesadaran bahwa Jokowi harus dipahami sebagai ide perubahan, cita-cita perubahan untuk negara dan bangsa yang selama ini cenderung lupa kepada rakyatnya agar kembali menghargai rakyatnya, sebagaimana Jokowi mencintai warganya dan langsung melihat dan bertanya apa yang menjadi kebutuhan dan masalah warganya. Relawan mampu merencanakan hal strategis, mampu bekerjasama dengan kaum borjuasi nasional untuk pemanasan lain dalam suhu politik nasional, yang muaranya adalah keberpihakan elit dan modal kepada rakyat. Solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat  adalah hal yang penting, demikian analisis Sosiolog kenamaan Emile Durkheim (1858-1917), menurut Durkheim solidaritas ini pertama-tama dibangun oleh kesadaran sosial, bukan kesadaran individu. Gerakan relawan adalah gerakan solidaritas yang ternyata mampu mempengaruhi gerakan politik, relawan menyadari hal itu.

Relawan yang bersatu padu dalam memenangkan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 ternyata telah melakukan banyak hal, kita masih ingat bagaimana sekelompok anak muda yang menghitung formulis C6 KPU melalui website kawalpemilu.org yang hasilnya tidak berbeda dengan penghitungan KPU. Kita juga ingat bagaimana ratusan ribu relawan berkumpul dengan jumlah yang spektakuler pada saat Konser Dua Jari di Gelora Bung Karno 5 Juli 2014. Semua relawan bergerak ke GBK tanpa bayaran, ratusan artis papan atas ibukota bahkan rela berkonser tanpa bayaran, hanya demi memenangkan Jokowi. Suatu hal yang sangat fenomenal, yang lahir karena kebosanan pada negara yang seakan-akan berjalan tanpa pilot (auto pilot). Hal ini lebih mirip dengan air mendidih, pemanasan yang dilakukan terus menerus akan menaikkan suhu air, pada titik tertentu mendidih dan menaikkan gelembung air ke atas, relawan adalah gelembung yang muncul  kepermukaan karena “panas” melihat situasi nasional pada masanya.

Banyak lagi hal lain yang telah dilakukan oleh relawan, namun itu tidak lantas menjadikan relawan itu sebagai suatu simbol yang eksklusive, relawan bukanlah kelompok elit, bukan gelar untuk orang tertentu. Relawan bukan saja mereka yang tercatat di koran-koran dan terlihat di televisi. Bahkan seorang warga desa terpencil yang jauh dari media, dan tidak pernah mengerti apa itu politik sangat pantas disebut relawan, jika dia terus berupaya menjelaskan dan mendorong orang lain tentang siapa Jokowi dan apa yang sudah dilakukannya untuk Solo dan Jakarta, meskipun orang desa tersebut tidak bergabung dengan organisasi relawan manapun dia tetap relawan dan berhak menyebut dirinya demikian.

Dinamika Relawan Paska Pilpres 2014

Setelah Pilpres Juli 2014 relawan cenderung terkotak-kotak, di Jakarta saja kita saban hari mendengar informasi tentang kongres-kongres relawan yang berbeda-beda. Hal tersebut membuktikan bahwa relawan belum mampu untuk bersama-sama merumuskan agenda ke depan setelah Jokowi menjadi Presiden. Apakah relawan Jokowi sudah terpecah? Terlalu dini untuk menyimpulkannya demikian, karena kesimpulan perpecahan hanya akan menjustifikasi relawan untuk tidak dapat duduk bersama.

Paska Pilpres relawan seharusnya mampu merencanakan apa yang harus dilakukannya dan  relevan dengan dukungannya sebelum Pilpres. Relawan bisa saja diam-diam memperhatikan ulah politisi licik, menyiapkan kerja-kerja advokasi untuk menjerat koruptor, melaporkan pejabat korup, memastikan semua pejabat menjalankan tugasnya sesuai aturan dan hal positif lainnya. Relawan itu harus bebas, dan sebaiknya tidak mau dipolitisasi. Relawan akan tahu bahwa siapapun yang sedang memecah belah mereka adalah suatu gerakan pelemahan terhadap relawan.  Karena itu relawan sebaiknya terus bergerak tanpa perintah siapapun yang mau mempolitisasi relawan tersebut. Relawan harus mampu mengkonsolidasikan dirinya sendiri, relawan bukan underbow politisi atau partai tertentu. Relawan jangan menunggu instruksi dari Politisi atau Pimpinan Partai politik baru mau duduk bersama. Kalau relawan bergerak menunggu perintah atau titah pimpinan atau politisi, itu bukan mental relawan, itu mental karyawan.

Relawan bergerak dengan sukarela, namun jangan anggap kerelawanan bisa dibeli meskipun anda memberikan recehan uang atau fasilitas kepadanya. Paska Pilpres banyak politisi yang menganggap bahwa relawan harus bubar, bukankah itu suatu seruan yang melemahkan barisan relawan?.

Namun kita harus menyadari, banyak hal yang membuktikan bahwa Jokowi sedang tidak nyaman dengan Partai Politik, baik itu partai pendukung Prabowo yang sampai saat ini belum legowo menerima kekalahan, maupun partai koalisi pendukungnya sendiri yang tentu saja sedang menyusun bargaining untuk memastikan porsi “kue” yang jelas pada posisi Menteri dan jabatan lainnya. Meski Jokowi menyebut bahwa tidak ada politik transaksi bagi-bagi kekuasaan, namun kita bisa dengan jelas melihat kepentingan Partai Politik pengusung pada posisi tersbut.

Keyakinan tersebut muncul setelah Jokowi menyerukan agar relawan tidak bubar paska Pilpres, Jokowi menyebutkan bahwa relawan harus siap menjadi “mata, telinga dan tangan” untuk mengawal Program dan Kebijakan Pemerintah dari Pusat sampai ke Daerah. Jokowi mungkin saja sedang memberi isyarat, bahwa kader partai tidak cukup kuat dan solid untuk mendukungnya, perlu ada kekuatan lain. Kekuatan yang sedang tumbuh dengan cepat, tidak dapat dihalangi dan tidak dapat dibeli, dialah kekuatan relawan. Relawan harus menyadari bahwa ada kekalahan Partai-Partai Pendukung Jokowi di level DPR-RI. Bahkan kita akrab dengan istilah 5:0 (Lima Kosong) yang dilontarkan oleh politisi Koalisi Merah Putih atau KMP yang sebelumnya mendukung Prabowo, untuk menyebutkan kekalahan Partai Pengusung Jokowi. Koalisi Merah Putih atau KMP memenangkan aturan pengesahan UU MD3, pembahasan tata tertib pimpinan DPR, pengesahan UU Pilkada, pemilihan pimpinan DPR, dan terakhir pemilihan pimpinan MPR.

Karena itu, Politisi jangan lagi turun kelas mengurusi relawan, relawan itu bukan tempat politisi, bukan pula tempat berpolitik. Politisi seharusnya melakukan konsolidasi terhadap kader partai, biarkan relawan bergerak dengan caranya, karena mereka bukan underbow partai.  Jika relawan mau berpolitik maka alangkah baiknya sejak awal relawan masuk partai politik, karena disana  sudah jelas jenjang kadernya, namun penuh intrik, saat anda berguna anda didekati. Saat anda tidak berguna, "kan saya sudah bayar anda", itu menjadi kalimat sakti. Anda harus siap dengan semua itu, thats Politic.

Rekomendasi: Relawan Harus Bergembira

Adalah suatu kemunduran Kalau relawan berpikir dan bersiasat menyerang relawan lain, karena apa? Karena relawan itu bukan orang-orang yang merusak negeri, mereka bergerak karena negeri dirusak oleh kelompok dan elit yang sudah kuat dan mendominasi negeri selama ini, merajalela menumpuk harta pribadi, tanpa batas. Karena itu relawan bersatupadu, karena merasa tidak mampu untuk melawan Goliath-goliath yang pandai bersandiwara, seakan-akan Goliath-goliath itu bermusuhan, namun dilain waktu bergandeng tangan demi menumpuk pundi-pundi pribadi.

Ambisi pribadi akan telanjang dimata relawan, karena apa? Karena relawan bergerak bukan untuk kepentingannya pribadi, tapi untuk melawan kepongahan elit, politisi busuk, kapitalis birokrat, penghina si miskin dan tentu saja karena kebosanan melihat para tokoh yang selama ini pandai menjual nama rakyat demi kepentingannya. Namun  semua borok itu akan terungkap, relawan yang diinspirasi dan akan dipimpin oleh Jokowi akan mendorong penegak hukum untuk menjadikan penjara sebagai ganjaran politisi busuk tersebut yang selama ini bukan hanya berwatak korup, namun juga pemecahbelah, pengemplang pajak, dan pembual.

Harapan bahwa Hukum akan jadi Panglima pada masa pemerintahan Jokowi bukanlah hal yang mustahil, karena itu kita harus bergembira. Jokowi juga awalnya adalah keniscayaan, peluangnya menjadi capres penuh dengan dinamika, karena itu relawan bergerak, semua menjadi tidak mustahil. Politik Negara vs Politik Rakyat, Jokowi menang, itu adalah kemenangan rakyat, bukan hanya yang memilih Jokowi, tapi semua, bukankah hasil pemilihan melalui proses demokrasi harus diterima oleh pihak yang memilih dan yang tidak memilih?.

Relawan harus mampu untuk selalu bergembira, kenapa? Karena tidak ada yang boleh melarang orang lain bergembira. Kepada semua pihak yang kemarin memilih Jokowi-JK, maupun yang memilih Prabowo-Hatta. Mari bergembira, saatnya kita bersama-sama mendukung Jokowi-JK membangun negara dan bangsa. Relawan bukan politisi, yang cenderung melakukan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. Karena itu relawan jangan mau dipecah belah, harus bersatu dengan rakyat. Toh kalau rakyat terpecah belah, negara dan bangsa kita yang akan lemah. Jika begitu kita juga akan lemah, sehingga pihak asing yang ingin menghancurkan kita dengan mudah masuk merampok seluruh kekayaan negeri kita, membuat kita seolah-olah sibuk berperang sesama relawan, sementara mereka merampas hak-hak dan kekayaan alam kita. Karena itu, mari bergandeng tangan, lupakan Pilpres yang sudah berlalu, kita bergembira bersama meninggalkan watak-watak konflik yang membuat kita tidak pernah naik kelas, karena relawan masih harus bergerak, pekerjaan masih banyak, terutama untuk memastikan Jokowi melakukan janji-janji politiknya yang diucapkan saat mencalonkan diri menjadi Calon Presiden.

Salam relawan

Ranto Sibarani, S.H.

ransibar@gmail.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline