Oleh: Ranto Sibarani
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) adalah suatu jabatan setingkat menteri yang bertugas untuk memimpin BIN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jabatan ini sangat strategis karena langsung bertanggungjawab hanya kepada Presiden sebagai kepala negara, sehingga disebut “single client”. BIN bukanlah Public Service, dia hanya melayani Presiden sesuai Perpres 34 Tahun 2010 yang menjadi dasar hukum pembentukannya.
BIN bertugas untuk mencari dan memberikan informasi-informasi rahasia yang berguna untuk Presiden dalam mencapai programnya dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena itu, dalam memilih Kepala BIN nantinya, Jokowi harus mengingat apa yang dijanjikan pada saat kampanye. Ada 9 program prioritas Jokowi yang sering disebut dengan Nawa Cita, yang pertama adalah menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya, pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Jika Jokowi tidak ingin “celaka” maka Kepala BIN pilihan Jokowi sebaiknya memahami program Nawa Cita tersebut sehingga mampu mendukung Pemerintah untuk pencapaiannya.
Sebagai badan strategis yang tidak hanya mengelola ribuan orang, -sebagai catatan diperkirakan saat ini anggota BIN sebanyak 1500 orang-, BIN juga menggunakan anggaran negara yang sangat besar yaitu sekitar Rp. 1,2 Trilyun per tahunnya. Dengan anggaran yang sangat besar tersebut, BIN haruslah bisa secara maksimal bekerja untuk menjadi bagian yang rahasia dalam mewujudkan program Presiden Jokowi yang dilandasi kepentingan nasional sesuai Nawa Citanya. Kepentingan Nasional seringkali bertentangan dengan kepentingan asing, untuk itu Kepala BIN harus mampu memberikan informasi dan rencana strategis dalam menghempang kepentingan asing demi keutuhan NKRI.
Presiden harus berani melakukan terobosan dalam memilih Kepala BIN yang akan berkantor di Komplek BIN yang terletak di Jalan Seno Raya, Pejaten Timur, Pasar Minggu Jakarta Selatan seluas 26 Hektar dengan areal perumahan BIN seluas 17 Ha dan perkantoran seluas 9 Ha. Sebagai sosok Presiden yang dekat dengan rakyatnya, Jokowi sebaiknya memilih Kepala BIN yang juga memiliki
keberpihakan kepada rakyat dan mendukung programnya.
Persoalan utama intelijen saat ini adalah tidak mampu menjadi pembisik yang tepat bagi Presiden untuk memberikan informasi-informasi yang bisa mendeteksi tindakan-tindakan yang berpotensi merugikan negara dan mengancam kepentingan nasional. BIN kedepan harus mampu mencari informasi bukan hanya terkait keselamatan Presiden tapi juga harus mampu mencari informasi tentang potensi kerugian negara akibat aktifitas ilegal termasuk aktifitas mafia-mafia migas, listrik, air, hutan, laut, kesehatan termasuk mafia pendidikan.
Indonesia membutuhkan Kepala BIN yang dekat dengan rakyat dan tidak menjadi ancaman bagi rakyat. Untuk itu, Presiden juga harus mempertimbangkan untuk mengangkat kepala BIN yang berasal dari kalangan sipil karena BIN merupakan lembaga sipil. Jika dipimpin oleh Sipil, maka BIN bisa lebih leluasa untuk bekerja melihat ancaman yang bukan saja berasal dari sipil, namun akan mampu lebih independen membongkar kejahatan militer asing dan militer dalam negeri yang berpotensi merongrong kesatuan NKRI dan merugikan negara.
Musuh negara kedepan adalah kelompok fundamentalis yang semakin berbahaya jika mendapat dukungan dari pejabat militer, dengan kepala BIN yang berasal dari sipil maka informasi-informasi tersebut bisa sampai kepada Presiden sesuai dengan kenyataannya.