Lihat ke Halaman Asli

Isih Enak Jamanku to Le?

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Alkisah di awal tahun 80an, seorang anak laki-laki termangu mendengar kabar Bapak temannya terkapar di pinggir jalan diterjang peluru orang tak dikenal. Dan anak itu bersama teman-temanya memberanikan diri melihat sosok manusia yang tergolek tak bernyawa menjadi tontonan semua orang yang lewat di jalan itu.<?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" />

 

Anak itu dan temanya bergumam,’Iya, itu Bapaknya Badu’.

 

Dan tidak ada yang tau apa isi kepala Badu dan apa yang dirasakannya saat itu. Kala orang tuanya terkapar tak bernyawa diterjang pelurupersis di pelipis. Keluarganya tidak berani berbuat apapun kecuali pasrah menunggu pihak berwenang datang. Mereka mungkin hanya bisa berdoa di kalangan keluarga sendiri. Mengundang tetangga untuk tahlil seperti layaknya keluarga yang ditinggal anggotanya di daerah itu.

 

Tampaknya, anak itu dan teman-temannya mulai membayangkan bahwa malaikat adalah sebutir timah panas yang dilepaskan dari pistol orang tak dikenal. Pistol yang dapat memilih siapa yang akan menjadi korbannya berdasarkan persepsi tuan yang merawatnta. Saat gagangnya mengetuk pintu sebuah rumah maka salah satu anggota keluarga akan segera menjadi tontonan orang di jalanan.

 

Jaman itu adalah jaman negeri ini mendapatkan penghargaan Foof and Agriculture Organization (FAO), sebuah badan PBB yang mengurusi masalah pangan. Penghargaan atas keberhasilan Indonesia berswasembada pangan yang diterima oleh presiden di Roma, Italia. Ironisnya meski pangan konon berlimpah, di bagian selatan Propinsi Jogjakarta sebagian masyarakatnya kesulitan mendapatkan beras untuk dikonsumsi. Petani Jawa yang harus membeli beras setelah yang mereka panen setelah 2 bulan panen raya lewat.

 

Anak itu ingat bagaimana sepatu lars tentara menginjak-injak tanaman padi petani yang tidak mengikuti masa tanam yang ditetapkan pemerintah di daerahnya. Mereka yang tidak patuh lantas mendapat stempel PKI dan dianggap membahayakan Negara secara laten. Mereka yang di masa pemilu tidak memasang gambar beringin di depan rumahnya dapat dipastikan akan menemui kesulitan saat berhubungan dengan birokrasi.

 

Bagi anak kecil itu – yang mulai tumbuh dan membaca buku-buku diluar pelajaran sekolah – ironi adalah tanah di mana ia pijak. Ia mendapati anak-anak petani, buruh atau pedagang kecil akan selamanya mengikuti jejak orang tuanya. Mereka akan sangat kesulitan naik menjadi kelas ‘priyayi’ – menjadi PNS – karena tidak memiliki koneksi pejabat. Bila memaksa naik kelas, maka orang tuanya harus rela menjual semua asset yang dimiliki untuk disetorkan pada oknum tertentu.

 

Kala itu, hukum tidak pernah bisa menyentuh kelompok tertentu. Pejabat dan tentara adalah warga Negara istimewa yang tidak pernah salah. Dibunuhnya wartawan Udin oleh pembunuh bayaran tidak pernah mengungkap siapa pelaku dan actor di balik layar. Menggunjingkan orang yang dekat istanapun harus berhati-hati bila tidak mau berususan dengan intel melayu.

 

Jaman itu adalah jaman paling enak bagi mereka yang ada di lingkar kekuasaan. Jaman keemasan bagi pelaku kejahatan kerah putih. Jaman yang konon bisa menimbulkan rasa aman meski menebar ketakutan bagai kelompok lain. Dan tulisan pada truk, stiker, becak atau tempat lain memang betul, ‘Enak jaman Pak Harto bagi yang berada di lingkaran dalamnya’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline