Lihat ke Halaman Asli

Ayu Nandhita

Mahasiswa S1 Geografi FMIPA UI

Mungkinkah Depok Membangun Ruang Limpah Sungai Layaknya Jakarta?

Diperbarui: 30 Desember 2022   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: "Ruang Limpah Sungai" (youtube.com/PEMPROV DKI JAKARTA)



Coba pikirkan satu nama kota tanpa pencemaran air di Indonesia. Tentu beberapa mungkin merasa tertantang dan mulai berpikir akan sebuah nama kota---entah besar atau kecil---yang sekiranya tidak memiliki polusi air sama sekali. Padahal rasa-rasanya, dimana ada manusia, maka disitu terdapat polusi. Entah ini adalah tanda kehidupan atau memang tabiat manusia yang suka meninggalkan jejak.

Dalam mengatasi permasalahan ini, pemerintah pun telah melakukan berbagai upaya, mulai dari penerapan denda hingga usaha untuk melakukan revitalisasi sungai. Namun, dampak dari pencemaran air masih terus terjadi. Menurunnya kualitas air dan banjir tak terkendali membuat masyarakat mulai mempertanyakan, apa yang bisa dilakukan? Pemerintah pun bertanya, usaha apa lagi yang harus dilakukan?

Jakarta merupakan salah satu kota yang diperhatikan di Indonesia. Isu mengenai pencemaran sungai dan banjir nampaknya menjadi salah satu identitas yang melekat pada ibu kota Indonesia ini. Merasa permasalahan ini perlu diakhiri, Jakarta akhirnya membangun beberapa titik Ruang Limpah Sungai (RLS) agar dapat mengurangi volume banjir atau bahkan mencegahnya. Titik-titik terletak pada Lebak Bulus, Pondok Tanggon, dan RLS Brigif yang terletak di bagian Hulu Jakarta.

Ruang limpah sungai merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai, dimana sempadan sungai adalah daerah pinggir sungai yang berfungsi untuk menahan air saat volume air sungai berlebih. RLS yang dibangun di Kota Jakarta sendiri dapat menampung hingga 890.000 m (RLS Pondok Ranggon) [1]. Hal ini tidak hanya dapat mengurangi debit banjir, tetapi juga membangun daerah yang rindang di sekitar sungai hingga hewan air dan burung dapat hidup disana. Lantas, apakah Depok dengan julukannya sebagai "penyangga Jakarta" dapat melakukan hal yang sama?

Depok sebagai kota yang padat penduduk, membuat polusi menjadi hal yang mudah ditemukan. Terlalu mudah bahkan. Peningkatan kepadatan penduduk diiringi dengan pembangunan hunian yang meninggi menjadikan sisa limbah rumah tangga semakin banyak. 

Limbah yang dibuang ke sungai atau air ini menjadikan pencemaran air semakin banyak dan mulai tak terkendali. Jika diperhatikan, warna sungai biru hanya bisa menjadi angan anak kecil yang menggambar dua gunung dengan sungai yang mengalir di antaranya. Karena faktanya, sungai berwarna coklat---bahkan hitam, bukan hal yang asing untuk dilihat. 

Dahulu, kita belajar untuk mencegah banjir yang harus kita lakukan adalah membuang sampah pada tempatnya. Sekarang, kita menjadi sadar bahwa mencegah banjir lebih dari itu. Bukan sekedar "membuang sampah pada tempatnya", tetapi juga membangun tempat penampungan sampah yang mumpuni. Bukan hanya "tidak membuang sampah sembarangan", tetapi juga membuat regulasi dan kebijakan hingga orang lain mematuhinya. Perlu dukungan dan usaha dari tiap lapisan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan ruang terbuka biru yang nyaman.

Mengenai kajian mengenai kemungkinan Depok membangun RLS, jawabannya adalah mungkin. Konsep dari Ruang Limpah Sungai (RLS) sebenarnya mirip seperti waduk. Tempat persinggahan air agar tidak terjadi luapan air yang besar saat hujan. Namun, tiga hal yang harus diperhatikan saat membuat ruang limpah sungai adalah ruang, waktu, dan biaya. Keberadaan Kota Depok yang berada di daerah hilir sebenarnya menjadi kriteria utama dari keberadaan ruang limpah sungai ini [2]. Terlebih dengan keberadaan 15 sungai dan 25 situ pada Kota Depok. 

Hal ini dikarenakan, sungai yang mengalir dari hulu ke hilir menjadikan daerah hilir perlu proteksi ekstra dari kiriman air terutama saat musim hujan. Sayangnya, kondisi kota yang padat penduduk membuatnya perlu membuka lahan untuk pembangunan ruang limpah sungai. Hal ini menjadikan pemerintah perlu biaya lebih untuk melakukan penggusuran dan kompensasi jika kebijakan ini benar-benar ingin dilaksanakan. Selain ruang, pembangunan ruang limpah sungai memerlukan waktu yang lama. Ruang limpah sungai di DKI Jakarta terhitung menghabiskan waktu 15 bulan sejak 3 November, 2021 [3]. Hal ini di luar kendala material dan birokrasi yang mungkin saja terjadi selama pembangunan.  

Depok pun sebenarnya secara alami telah memiliki konsep RLS. Terlihat dari keberadaan situ dan rawa yang dapat dimanfaatkan untuk menampung air. Jika ingin dikembangkan, dapat dibuat sodetan-sodetan agar volume penampungan semakin banyak. Sodetan ini pernah diterapkan pada Ci Liwung yang diharapkan dapat mengurangi 60 meter kubik air per detik dengan tujuan untuk mengurangi volume banjir di sisi utara Jakarta. Proyek ini diprediksikan akan selesai pada April 2023. Dengan membuat sodetan, jumlah lahan yang dibebaskan akan lebih sedikit dan waktu yang dibutuhkan juga seharusnya lebih cepat dibandingkan membangun RLS [4].

Sayangnya, masih perlu banyak konsiderasi untuk membangun RLS dengan konsep mengembalikan fungsi sempadan sungai di Depok. Salah satu konsiderasinya adalah mengenai konflik kepentingan yang akan terjadi. Lokasi Depok yang sangat berdekatan dengan Jakarta membuat perizinan harus diurus dengan hati-hati atau akan terjadi permasalahan dalam penentuan batas wilayah. Hal ini juga menjadikan pemerintah Depok harus bekerja sama dengan Jakarta dalam masalah ini. Selain itu, perlu dipikirkan wilayah manakah yang akan mendapatkan lebih banyak untung dari pembangunan RLS ini? Apakah sudah cukup membangun RLS di bagain hulu Jakarta untuk menghalau kiriman air menuju daerah Depok? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline