Saat kita membicarakan tentang Garut seakan tidak lepas dari makanan yang memiliki rasa manis dikenal dengan sebutan "Dodol Garut". Itulah sepintas bila kita bicara tentang daerah yang berada di wilayah Propinsi Jawa barat ini.
Pandangan itu tentu tidak salah namun rasanya kurang pas apabila membicarakan Garut hanya bicara tentang satu jenis makanan saja, apalagi hanya dodol. Mengapa Demikian?
Sebenarnya bila mau menelusuri lebih jauh tentang Garut, Daerah ini memiliki begitu banyak daya tarik, baik dari unsur seni budaya, kuliner, wisata dan beragam panorama alamnya yang indah. Dengan begitu banyak daya tarik Garut penulis mencoba untuk mengangkat sisi lain dari Garut utamanya pada unsur Budayanya.
Seni Budaya Garut mencakup tentang kepercayaan, norma-norma artistik dan sejarah-sejarah nenek moyang yang tergambarkan melalui kesenian tradisional. Hal ini dapat dilihat dari ragam kebudayaan yang lahir dari karya masyarakat penyangganya.
Jenis-jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang di Garut antara lain; Tari Topeng Koncaran, Surak Ibra, Boboyongan, Pencak Silat, Debus, Dodombaan, dan Raja Dogar. Ragam Kesenian ini umumnya berkembang di masyarakat Garut terkait dengan penggambaran tentang penjajahan zaman dahulu.
Dari sekian banyak ragam kesenian di atas, penulis tertarik untuk mengulas Raja Dogar lebih jauh dan mendalam. Ada alasan cukup kuat mengapa Raja Dogar ini menjadi pilihan untuk dikupas lebih dalam, pertama seni Raja Dogar terbilang masih baru, berdiri tanggal 15 Desember 2005. Dibanding dengan seni tradisional yang lain raja dogar termasuk yang paling belia.
Kedua, Ada upaya dan semangat dari pencipta seni Raja Dogar yaitu Entius Sutisna yang menginginkan budaya tradisional sebagai warisan leluhurnya di Garut tidak hilang dan ditelan perubahan zaman. Keinginan ini seakan mewakili mayoritas masyarakat Garut agar seni dan budaya tradisional tetap terawat.
Sebagai gambaran singkat Raja Dogar memiliki keterkaitan erat dengan Budaya Adu Domba yang saat ini lebih dikenal dengan Ketangkasan Adu Domba, sedangkan Budaya Adu Domba ada yang memberikan pandangan negatif akibat memunculkan adanya kekerasan pada hewan dalam hal ini domba aduan.
Ajang Adu Domba sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Garut. Bahkan Adu Domba dalam sejarahnya sudah ada sejak abad 19. Awalnya beberapa anak gembala yang menggembalakan dombanya, mengadu domba-domba mereka yang jantan karena melihat dombanya memiliki sifat yang agresif.
Kebiasaan ini bukannya dilarang, justru diikuti orang tua mereka dan para juragan pemilik domba, sehingga pada tahun 1905 dibuatlah agenda khusus untuk menyelenggaran Ajang Adu Domba, dan diluar dugaan kegiatan ini meluas hingga ke wilayah lain yaitu kabupaten Bandung dan Sumedang.
Seiring dengan berjalannya waktu Ajang Adu Domba seakan mendapat stigma kurang bagus dan cenderung dinilai negatif bagi sebagian masyarakat utamanya diluar Garut, hal ini terjadi akibat penafsiran bahwa Ajang Adu Domba sebagai atraksi yang mempertontonkan kekerasan pada hewan dan tidak jarang dijadikan pula ajang perjudian.