Lihat ke Halaman Asli

Siswa “Bodoh”, Haruskah Disalahkan?

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Sebelumnya saya mohon maaf bila menggunakan istilah vulgar terhadap kata-kata “Bodoh”, hal ini saya lakukan hanya untuk mempermudah bidikan dari tujuan penulisan artikel ini. Saya sendiri memandang tidak ada siswa yang bodoh yang ada hanya lama waktu yang dibutuhkan untuk belajar dari masing-masing anak berbeda.”

Dalam dunia pendidikan, keberadaan siswa (peserta didik) mutlak diperlukan. Mereka adalah obyek yang mendapat perlakuan khusus dalam kegiatan pembelajaran, seiring dengan melekatnya hak dan kewajiban yang dimiliki. Siswa merupakan bagian utama ketika transfer ilmu berlangsung dari sang guru. Siswa diharapkan mampu menyerap dan menerima sebanyak mungkin ilmu yang telah ditransfer. Tak jarang siswa menjadi kalang kabut manakala mereka hampir kewalahan menerima sekian banyak ilmu dari berbagai disiplin.Pertanyaannya berhasilkah semua siswa menerima transfer ilmu tersebut? Dari sekian banyak siswa, ada yang berhasil menyerap ilmu, namun tidak sedikit yang gagal.

Respon yang diberikan sang guru atas keberhasilan dan kalu boleh dikata ”kegagalan” dalam transfer ilmu tadi bermacam-macam. Ada guru yang cukup toleran, ada juga yang acuh namun tak sedidkit pula yang menggunakan ”kediktatorannya”untuk memvonis dan menghukum mereka yang dianggap gagal. ”Dasar bodoh, tolol kau, pancene goblok arek iku!!!”Kalimat-kalimat itu yang sering muncul bersamaan dengan kegagalan siswanya! Benarkah siswa-siswa itu telah gagal?

Dulu ketika Albert Einstein masih bocah dan duduk disekolah dasar, guru dan teman-temannya menganggap ia anak bodoh. Setelah dewasa Einstein berhasil menemukan teori relativitas, yang memungkinkan umat manusia memanfaatkan energi nuklir. Cerita itu memberikan sedikit gambaran bahwa sebagai pendidik, kita perlu bersikap bijak dalam menilai kegagalan yang dialami siswa. Bisa jadi sebenarnya mereka tidak gagal tetapi belum mampu mengaktualisasikan apa yang diharapkan gurunya untuk saat ini.

Kita harus tahu bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kegagalan dan unsur kecerdasan. Sebenarnya kalau kita mau menelaah, dalam diri masing-masing siswa kita ada berbagai macam unsur kecerdasan, antara lain; linguistic, musik, matematik-logis, visual spasial, kinestetik fisik, sosio interpersonal, dan intra personal. Adanya berbagai macam bentuk kecerdasan ini secara otomatis akan memunculkan karakter yang berbeda-beda dari masing-masing siswa kita. Ada yang kalau diajar diam dengan tenang, ada yang suka memandang keluar kelas, tak jarang yang memainkan bangku sebagai alat musik dan masih banyak lagi action siswa ketika transfer ilmu sedang berlangsung. Sehingga hasil belajarpun dapat kita tebak pasti bervariasi.

Selama initolok ukur keberhasilan itu ada pada saat siswa mendapatkan angka yang baik. Artinya keberhasilan di ukur dengan angka-angka. Bagi siswa yang memiliki kecerdasanmatematik logis akan dengan mudah memperoleh angka yang baik, tetapi bagaimana dengan mereka yang kecerdasannya kinestetikfisik atau musik? Hal inilah yang membuat ada definisi berhasil dan gagal saat transfer ilmu.

Sebenarnya tidak bijaksana kalau menilai kecerdasan siswa hanya dengan satu jenis kecerdasan saja. Tidak dipungkiri memang belum ada alat ukur yang tepat dan baik untuk menilai semua unsur kecerdasan. Penilaian terhadap ketiga ranah; kognitif, psikomotor, dan afektif diharapkan mampu menjembataninya meski tidak bisa optimal.Jadi setelah melihat kenyataan di atas, bagaimana bapak/ibu guru sekarang dalam bersikap, haruskah siswa “bodoh” disalahkan???

Nono Purnomo

Senin, 4 Mei 2015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline