Lihat ke Halaman Asli

Dilema Hukum Pelecehan Seksual: Urgensi Melindungi Identitas Korban, tetapi No Viral No Justice

Diperbarui: 11 Juni 2022   16:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Beberapa hari yang lalu saya melihat berita soal wanita yang menjadi korban pelecehan seksual di kamar kostnya oleh orang yang tidak dikenal. Media yang memuat berita tersebut menunjukkan lokasi kejadian atau alamat korban dengan jelas, lengkap dengan keterangan orang sekitar. 

Berita tersebut mengusik saya, sebab baru saja  UU-no-12-tahun-2022 tentang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual disahkan pada awal Mei 2022. Dalam Undang-Undang  tersebut pasal 69 menegaskan korban pelecehan seksual memiliki hak perlindungan atas kerahasiaan identitas. Sehingga sudah kewajiban kita, untuk berkontribusi dan membantu penegak hukum untuk melindungi indentitas korban pelecehan seksual. Tetapi yang menjadi masalah saat ini adalah sudah menjadi rahasia umum bahwa penegak hukum kita begitu lambat dalam menindaki suatu kejahatan. Sehingga viral istilah no viral no justice. Makna dari istilah tersebut dikarenakan sudah melekatnya di masyarakat bahwa sesuatu itu harus viral terlebih dahulu agar proses hukum bisa berjalan dengan baik.

Melihat fenomena no viral no justice, sebagai masyarakat kita dibuat bingung bagaimana harus bersikap ketika melihat korban pelecehan seksual, tidak menviralkan berpotensi tidak tertangani dengan baik, tetapi jika berkontribusi meramaikan beritanya, kita sama saja menyebarkan identitas korban yang jelas akan kian menganggu keteanangan jiwanya dan juga  mungkin saja melanggar hukum.

Lalu, jika seperti ini apakah pengesahan UU TPKS betul-betul bisa menurunkan kasus kekerasan seksual?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline