Saya beberapakali menemukan komentar netizen, di mana mengait-ngaitkan setiap kegiatan demo saat ini adalah sama energinya dengan demo 1998, yang mampu melengserkan pemerintahan orde baru kala itu. Bahkan tidak sedikit yang setiap demo, selalu menggunakan kutipan aktivis zaman orde lama atau pun orba untuk menegaskan seakan posisi mereka sama dengan aktivis dahulu.
Apakah memang iya, demonstrasi zaman sebelum reformasi sama dengan saat ini?
Sangat berbeda. Pertama, karena yang dikritisi pemerintah, jadi kita uraikan dulu perbedaan pemerintahan dulu dan saat ini. Sistem pemerintahan era Soekarano dan Soeharto, kekuasaan tertinggi masih dipegang MPR dan kekuasaan presiden tidak terbatas, serta DPR masih lemah fungsi dan kedudukannya. Akibatnya dulu, fungsi kontrol pun dianggap lemah. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah citra yang melekat pada pemerintahan tersebut.
Berbeda dengan era pemerintahan saat ini, presiden tidak sepowerful itu lagi, kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, peran dan kedudukan DPR jauh lebih kuat. Sehingga kini presiden tidak mampu lagi menyetir bebas haluan negara, gak bisa. Saat ini presiden kuat dan terkontrol hanya pada ranah managemen organisasi ke pemerintahan. Tetapi untuk mendikte orang-orang di bawahnya agar bisa mengubah konstitusi untuk melancarkan misi pribadi, seperi tiga periode misanya, tidak seenteng itu.
Perbedaan kedua, dari segi karakteristik aktivis mahasiswa. Aktivis mahasiswa dulu, literasinya tinggi. Untuk dapat informasi harus rajin baca koran, dengar radio, jadilah mahasiswa yang membrontak berdasarkan nilai-nilai akademis. Salah satu aktivis mahasiswa tahun 60-an yaitu Soe Hok Gie, doi sangat kritis dalam menentang pemerintah. Bukunya yang terkenal hingga saat ini salah satunya "Catatan seorang demostran". Ini kan jelas dan terukur intelektualnya, karya ilmiahnya ada, pemikiran dan analisanya bisa terbaca publik, kritik-kritik yang punya landasan kuat dan tajam.
Tetapi, coba kita bandingkan dengan karakteristik mahasiswa saat ini yang bakar-bakaran di jalan, jangankan mencari dan baca koran, baca artikel pendek saja, mungkin cuma mampu baca sampai judul. Hobby keseharian main tiktok, jangankan nulis satu karya ilmiah, tugas makalah lima halaman saja, mungkin masih copy paste Google. Intinya masih minim prestasi akademik yang bisa dilihat pada mahasiswa tersebut. Tidak hanya itu, giliran demo hanya bermodal kutipan aktivis dahulu, giliran pakai slogan sendiri, hanya slogan yang berpotensi menarik views di socmed, seperti yang viral hari ini "Mending 3 ronde, dari pada 3 periode". Kalimat yang sangat jauh dari nilai-nilai akademis.
Ketiga, Sumber informasi. Dulu, jelas akar masalahnya,seperti ekonomi yang terpuruk dengan tingkat inflasi mencapai 600 persen, penindasan ideologis dan fisik, dan lain sebagainya yang turut menurunkan tingkat kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Dan bukan cuma mahasiswa yang demo, masyarakat, dosen semuanya saling membantu dengan napas yang sama, menyuarakan reformasi. Hal itu menunjukkan bahwa akar masalahnya jelas, ketidakadilan itu nyata. Kompak seluruhnya.
Tetapi, coba saat ini, isunya masih berbentuk wacana, sumbernya gak jelas, sumber jelasnya ada, tapi malas baca, dan segala analisa dangkal itu. Tetapi hal tersebut sudah bisa dijadikan modal untuk memanggil seluruh pasukan sesamanya, untuk menguasai jalanan. Dan inilah bedanya dengan dahulu dimana mahasiswa dan masyarakat kompak. Sedangkan saat ini, meskipun banyak yang turun ke jalan, tetapi persentase orang yang mengutuk aksi demo anarkis itu, jauh lebih banyak lagi. Artinya ada ketidak kompakan antara pendemo dengan sebagian besar masyaratakat. Ketidakkompakan itu,dapat pula bermakna perbedaan pola pikir.
Jadi, kesimpulannya gini, aktivis mahasiswa dan demonstrasi sebelum reformasi sangat jauh berbeda dengan karakteristik demonstrasi saat ini. Meskipun saat demo, teriak mengumandangkan kutipan Aktivis orba seperti Widji Thukul, itu bukan berarti level analisa dan perjuangannya sama yah. dan bukan saya tidak mengamini kegiatan demonstrasi, tetapi dalam melakukan demo atau menjuluki diri sebagai aktivis ada unsur-unsur yang harus dipenuhi, bukan cuma modal toa dan bakar ban.
Thanks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H