Lihat ke Halaman Asli

Kasihan Luthfi Hasan Ishaaq

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang, saya tidak mendapatkan salinan eksepsi terdakwa LHI yang dibacakan pada sidang kedua, kemarin (1/07/2013). Saya hanya mendapatkan point-point penting eksepsi tersebut dari media massa yang meliput. Dari informasi sumber sekunder itu, saya agak kecewa dan menyayangkan isi yang tertuang dalam eksepsi tersebut. Penasehat Hukum (PH) tidak terlampau optimal untuk mengugurkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Akibatnya, hak-hak terdakwa LHI hanya dipahami sebagai prosedur formal dalam proses persidangan. Meskipun ini lumrah, dalam dunia pengacara yang tidak memiliki ikatan emosional dan ikatan batin yang kuat dengan terdakwa. Namun, upaya yang tidak optimal itu akan berakibat hak-hak terdakwa secara substantif akan terabaikan.

Saya juga tidak menyalahkan sepenuhnya penasehat hukum LHI. Pengacara sekaliber M. Assegaf dan Sholeh Amin memiliki jam terbang yang tinggi dalam menangangi perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana umum lain. Secara pribadi, saya pernah bertemu dengan Bapak Assegaf dalam satu diskusi hukum. Begitupun dengan Bapak Sholeh Amin, saat bertandang ke rumahnya di Bogor. Kedua pengacara ini, cukup pandai dalam penguasaan ilmu hukum dan punya pengalaman yang banyak. Agak gegabah, jika kita mengatakan kedua pengacara ini –kecuali Zainudin Paru yang belum pernah saya dengar namanya – tidak paham dengan hukum acara persidangan. Khususnya dalam menyusun eksepsi. Mereka sangat paham. Jauh lebih paham dibandingkan dengan saya yang belum menjadi praktisi hukum. Namun, membaca point-point eksepsi yang dibacakan kemarin, saya agak kecewa.

Bapak M. Assegaf dan Bapak Sholeh Amin, pasti mengerti bahwa eksepsi lebih bersifat prosedur formal yang tidak bisa keluar dari koridor pasal 156 ayat 1 KUHAP. Dengan demikian, untuk menggugurkan dakwaan JPU yang tidak memenuhi unsur dalam pasal 143 ayat 2 KUHAP. Namun, mengapa eksepsi banyak memuat perihal pokok perkara yang perlu ada pembuktian lebih lanjut. Diantaranya:

Tindak pidana asal (Predicate Crime) tidak atau belum terbukti untuk masuk ke dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Padahal tindak pidana suap apakah memenuhi unsur atau tidak perlu dibuktikan dalam sidang selanjutnya. Atau penerimaan uang dan penyitaan oleh KPK apakah berhubungan dengan hasil kejahatan, itupun perlu pembuktian.

Begitupun menyinggung tentang peran LHI yang dikaitkan dengan pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, itupun perlu ada pembuktian. Apakah benar dakwaan JPU bahwa LHI berperan sebagai doenplegen, atau medepleger, perlu dibuktikan lebih lanjut. Jika peran ini dikaitkan dengan peristiwa atau kronologi kejadian, bukankah hal tersebut memang harus terpenuhi locus dan tempus delicti sebagai salah satu unur dalam surat dakwaan. Justru yang bisa mengugurkan surat dakwaan bukan masalah peran, tapi ketidakcermatan JPU dalam menuliskan locus dan tempus delicti fakta materiil.

Ada juga yang mempersoalkan sah dan tidaknya hasil penyadapan sebagai alat bukti yang tertera dalam BAP dan kemudian diambil untuk menyusun Surat Dakwaan. Argumen dalam eksepsi, dasar hukum pasal 12 ayat 1 huruf a UU KPK yang memberi kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan, telah dinyatakan dicabut oleh putusan MK. Padahal putusan MK, malah memperkuat kewenangan KPK tersebut, dengan pencabut pasal 31 ayat 3 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Jadi yang dicabut adalah pasal di dalam UU ITE, bukan pasal di dalam UU KPK. Lagipula digunakannnya hasil percakapan elektronik sebagai alat bukti, sesuai dengan pasal 26A UU Tipikor, yang melampaui jenis alat bukti sebagimana pasal 188 ayat 2 KUHAP.

Demikian juga menyinggung tentang LHI bukan penyelenggara negara. Padahal di dalam penjelasan pasal 5 ayat 2 UU Tipikor, frasa “penyelenggara negara” merujuk kepada pasal 2 UU No. 28 tahun 1999. Dimana pejabat negara pada lembaga tinggi negara, seperti anggota DPR masuk di dalamnya. Sedangkan apakah ada tidaknya perbuatan atau pengaruh yang dilakukan oleh terdakwa, perlu dibuktikan dalam persidangan selanjutnya.

Menurut saya, hanya ada satu argumen yang diajukan oleh PH LHI tentang kewenangan pengadilan Tipikor memeriksa perkara TPPU yang didakwaan. Dan ini memang masuk dalam ruang lingkup eksepsi. Dengan alasan, bahwa Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan yang dibentuk dengan dasar Pasal 53 UU Nomor 30/2002 jo Kepres Nomor 59/2004. Yang kewenangannya secara absolut terbatas hanya untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi. Kita tunggu saja, apa pertimbangan hakim atas argumen ini. Kalau menurut saya (subyektif), perkara TPPU memang tidak dapat berdiri sendiri untuk disidangkan dalam Pengadilan Tipikor, bahkan pengadilan pidana umum sekalipun (misal perkara narkoba atau terorisme). Argumen ini nyata memisahkan perkara dari predicate prime yakni perkara suap (korupsi). Oleh karenanya dakwaan JPU yang diajukan bersifat kumulatif (bersama-sama) bukan alternatif (pilihan yang berdiri masing-masing).

Kekecewaan saya pada eksepsi yang disampaikan kemarin terlebih dimasukannya argumen non hukum ke dalam eksepsi. Hal ini tidak ada sangkutpautnya baik dengan syarat formal surat dakwaan apalagi pokok materi. Diantaranya, mempertanyakan tidak disebutnyaHatta Rajasa, Setya Novanto, dan Happy Bone Zulkarnaen dalam surat dakwaan. Dan menuduh KPK sengaja ingin menghacurkan PKS.Lalu soal “festivalisasi” KPK yang memunculkan nama-nama wanita yang disangkutkan dengan LHI. Ada lagi soal mesin pencarian goggle. Dan tentang penyitaan mobil yang menempel plang nama di barang sitaan oleh KPK. Ini semua sama sekali tidak akan menggugurkan surat dakwaan.

Justru karena dimuatnya argumen non hukum di dalam surat dakwaan, akan menjadi bahan bagi media dan publik untuk mengolok-olok eksepsi dan kemudian LHI. Bukankah tujuan dari eksepsi untuk menggugurkan surat dakwaan JPU, yang notebenenya masalah hukumdan hukum acara khususnya. Mengapa harus menghabiskan energi, pikiran dan kertas berlembar-lembar hanya untuk memuat perihal non hukum.

Eksepsi adalah hak bagi terdakwa LHI untuk menangkis dan membantah apa yang didakwakan oleh JPU. Seharusnya hak ini dipergunakan seoptimal mungkin untuk mengugurkan surat dakwaan JPU. Bukan malah sebaliknya, memperlemah eksepsi dengan memperbanyak argumen tentang pokok perkara dan materi non hukum di dalamnya. Pada konteks seperti ini, penasehat hukum bisa saja merasa sudah menggunakan prosedur hukum dalam acara persidangan. Namun, secara substansial, eksepsi yang tidak optimal dan old fashion (karena sudah pernah ada preseden dalam persidangan Tipikor sebelumnya), mengakibatkan hak-hak terdakwa LHI tidak dibela secara optimal juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline