Lihat ke Halaman Asli

Menanti Sidang Lanjutan LHI

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini sebagai tambahan atau pelengkap dari tulisan saya sebelumnya berjudul Memprediksi Eksepsi LHI. Alasannya, pertama beberapa kompasioner baik melalui tulisan maupun komentar, menempatkan surat Dakwaan JPU seperti Tuntutan JPU. Akibatnya, untuk mengugurkan dakwaan tersebut dengan menggunakan logika nota pembelaan (pledoi) bukan nota keberatan (eksepsi). Nampak dari komentar dan tulisan yang lebih banyak menyinggung tentang pokok perkara LHI. Kedua, sebaliknya, beberpa kompasioner menempatka Dakwaan dari pihak negara (JPU), seperti pertimbangan majelis hakim sebelum memutus perkara. Akibatnya, muncul anggapan LHI bersalah atau tidak bersalah.

Sidang pembacaan Dakwaan oleh JPU pada tanggal 24 Juni 2012, baru tahap awal. Baru pembukaan. Inti "pertandingan" belum digelar. Masih cukup panjang, berkisar 2-3 bulan (jika sidang dilaksanakan seminggu sekali), sampai pada akhirnya vonis dijatuhkan. Inti "pertandingan", maksudnya persidangan dengan agenda mendengar keterangan terdakwa, keterangan saksi, keterangan saksi ahli dan menunjukan barang bukti. Serunya persidangan ada di agenda ini.

Untuk membuktikan dakwaan, JPU akan menghadirkan saksi-saksi dan barang bukti. Di beberapa persidangan lain, keterangan saksi yang dihadirkan JPU bahkan bisa memberi keterangan yang lebih lengkap dan detail dibandingkan dengan surat Dakwaan bahkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Seperti menyebut nama-nama yang sebelumnya tidak muncul. Seperti keterangan Nazarudin sebagai terdakwa maupun sebagai saksi untuk terdakwa lain, yang menyebut nama Anas Urbaningrum , Andi Malaranggeng dan politisi DPR yang lain. Padahal dalam surat Dakwaan ke Nazarudin, nama-nama itu tidak muncul. Hanya muncul nama Angelina Sondakh dalam surat dakwaan. Keterangan saksi dan keterangan terdakwa inilah yang menjadi salah satu alat bukti bagi KPK untuk menyelidik perkara yang lain. Begitu pula, ditunjukannya barang bukti, seperti rekaman pembicaraan elektronik. Jika begitu, sulit bagi saksi dan terdakwa untuk mengelak.

Demikian juga dengan pihak terdakwa LHI, akan menghadirkan saksi-saksi (meringankan) termasuk saksi ahli, untuk membantah dakwaan JPU. Beberapa kasus, beberapa saksi (yang pernah diperiksa oleh penyidik KPK), mengatakan BAP tidak sah karena dibawah tekanan. Atau membantah, fakta dalam dakwaan JPU yang dianggap fitnah dan manipulasi. Pengetahuan tambahan, bisa kita dapatkan juga saat saksi ahli yang dihadirkan. Diantaranya saksi ahli hukum, yang menyatakan bahwa pasal yang didakwakan atau delik yang dipergunakan tidak dapat diarahkan kepada terdakwa.

Hal yang menarik, dari perkara LHI ini adalah kesaksian Yudi Setiawan. Seperti yang pernah saya tulis dalam artikel, Menanti Kesaksian Yudi Setiawan. Menariknya, kita akan menyaksikan seperti mendengar kesaksian Agus Condro dalam perkara cek pelawat. Posisi Yudi Setiawan sebagai saksi, tetapi juga membuka tindak pidana yang dia lakukan sendiri, dan menyebut pihak-pihak lain yang terlibat. Dalam hal ini, Yudi Setiawan bisa dikatakan sebagai justice colloborator. Jika posisi Yudi Setiawan dianggap rawan dan perlu perlindungan, maka bisa melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk menghadirkan Yudi Setiawan dalam sidang LHI. Seperti tertera dalam dakwaan, kesaksian Yudi Setiawan akan mendorong KPK untuk menyelidiki perkara lain di luar perkara kuota import daging sapi di Mentan.

Hanya saja, inti "pertandingan" ini, akan terjadi jika eksepsi LHI ditolak oleh majelis hakim. Saya menduga, majelis hakim akan menolaknya. Jika melihat kecendrungan selama ini, bantahan terhadap dakwaan JPU lebih menyinggung tentang pokok perkara LHI.

Sebagai tambahan dari tulisan saya sebelumnya, eksepsi dari LHI tidak boleh keluar dari ruang lingkup penyusunan eksepsi sebagaimana pasal 156 ayat 1 KUHAP. Hal-hal yang bisa menggugurkan dakwaan JPU, diantaranya:


  • · Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadili terdakwa. Angaplah fakta hukum yang ditampilkan dalam surat dakwaan memenuhi unsur penipuan sebagai tindak pidana umum. Tentu saja Pengadilan Tipikor tidak bisa mengadilinya. Pengadilan Negeri (umum) yang berwenang mengadili tindak pidana penipuan. Atau peristiwa tindak pidana suap itu terjadi di Semarang. Tentu saja Pengadilan Tipikor DKI Jakarta tidak punya wewenang mengadilinya.
  • Surat dakwaan keliru atau tidak lengkap menyebut identitas terdakwa. Luthfi Hasan Ishaaq. Ditulis hanya "Luthfi" saja. Atau alamat terdakwa keliuru dicantumkan.
  • · Tindak pidana yang didakwa tidak menyebut lengkap tanggal peristiwa dan tempat peristiwa.
  • · Sistematika dakwaan keliru. Dengan dua delik yang diajukan sekaligus, seharusnya menggunakan dakwaan kumulatif, menggunakan dakwaan alternatif.
  • · Begitupun dengan ancaman hukuman dalam subsidaritas. Yang seharusnya ancaman hukum terberat ditempatkan di atas, tertukar di tempatkan di bawah.


Cukup sekian tambahan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline