Lihat ke Halaman Asli

Tentang Dokter...

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1367736592971863738

" Dokter itu manusia, bukan malaikat pencabut nyawa. Bukan pula pemberi kesembuhan pasien-pasiennya..." " Dokter itu..Eksekutif berjas putih, yang suka pilih kasih. Terutama pada pasien tak mampu seperti kami..." " Dokter itu...sungguh sangat mulia, tanpa mereka saya pasti sudah menyerah melawan kejamnya kehidupan. Tapi mereka selalu ada di dekat saya, memberi semangat kepada saya bahwa saya pasti bisa melawan penyakit yang saya bisa. Coba, yang sakit saya, tapi para dokter itu ikut serta memikirkan tentang kesembuhan saya. Dokter itu luar biasa.." " Dokter  itu lama sekali, kalau perika harus mengantri..." " Dokter itu kasihan ya, malam-malam bangun diketok tetangga. Gimana ya istirahatnya.." Dokter, ya...dokter. Begitu banyak pendapat yang terlontar mengenai seorang dokter. Ada komentar positif dan ada pula komentar yang negatif. Hal itu wajar terjadi. Bahkan di negara ini, seorang yang baik pun pasti tetap ada yang menghakimi. Dokter, sebenarnya memang tak jauh beda dengan profesi yang lainnya. Tetapi dikarenakan profesi ini berhubungan dengan nyawa, dengan orang sakit, profesi ini dianggap sebagai profesi yang mempunyai " sedikit toleransi tentang kesalahan". Ngomong-ngomong mengenai nyawa. Sebenarnya semua profesi pun ada hubungannya dengan nyawa.  Supir bus misalnya, dalam satu kali perjalanan dia membawa lebih dari 50 nyawa, sekali dia sembrono, 50 nyawa melayang jadinya. Tetapi pada kenyataanya, masih kita jumpai, supir bus yang ugal-ugalan, selip sana selip sini tak peduli penumpang yang ketakutan, kalopun naasnya terjadi tabrakan, ini akan dianggap sebagai suatu " kecelakaan". Memang suatu kewajaran jika banyak komentar yang menghakimi tentang dokter, tetapi jika seandainya para komentator itu menjadi seorang dokter, mempunyai adik, anak, ataupun orang tua seorang dokter, mereka pasti akan mengerti bagaimana kehidupan seorang dokter.  Untuk menjadi seorang dokter, seleksi yang dilalui harus dijalani dengan persaingan yang susah, biaya tinggi, ujian kelulusan yang sukar, belum lagi dunia perkoasan yang menyeramkan, untuk menjadi seorang dokter yang pada akhirnya keluar di masayarakat dengan tuntutan masyarakat yang tinggi. Berapa banyak waktu dan biaya untuk keluarga, teman, saudara, pasangan, dan diri sendiri yang telah dikorbankan untuk kesehatan masyarakat. Yang kesemuanya itu hanya mampu ditelan sebagai pil pahit seorang dokter yang pada akhirnya dihakimi dengan cap negatif masyarakat yang diperjuangkan kesehatannya. Bagi saya, banyak hal dalam kehidupan yang harus dikorbankan untuk menjadi seorang dokter, hal ini saya dapatkan ketika menjadi editor sebuah buku yang berjudul " Ringer Laktat untuk Rekan Sejawat", buku yang berisi mengenai kehidupan dokter di pedalaman. Jauh dari sanak saudara, sedikit waktu untuk keluarga, tuntutan masyarakat, dan sumpah dokter yang sudah diucapkan untuk selalu menjunjung kehidupan dan kemanusiaan adalah hal yang tidak main-main untuk menjadi seorang dokter. Seringkali saya merasa miris, jika mendengarkan berita yang memojokkan profesi dokter. Seolah-olah seperti semua dokter bersikap demikian, "pars pro toto,totum pro parte" . Satu kesalahan berlaku untuk semua, dan semua  digunakan untuk menunjukkan satu kesalahan". Miris memang, betapa sebuah profesi yang mulia ini menjadi tercoreng namanya dikarenakan stigma negatif terhadap profesi. Padahal, seperti yang kita tahu, ketika seseorang penganut agama tertentu melakukan kesalahan, bukan agamanya yang tidak baik, semua agama pasti mengajarkan kebaikan, tetapi orang atau personal itu sendiri yang tidak baik. Sama halnya dengan dokter, semua dokter selalu diajarkan tentang kemanusiaan, bahkan disumpah untuk menghargai kehidupan dan kemanusiaan. Jadi, jika ada dokter, guru, hakim, ada yang melakukan kesalahan, apakah keseluruhan profesi itu melakukannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline