Lihat ke Halaman Asli

Sang Pipit Berjiwa Elang ( A TRUE LOVE STORY)

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang Pipit Berjiwa Elang (True Love Story)

” Setengah abad yang lalu aku menikah dengannya. Bukan karena hartanya, bukan juga karena rupanya yang terlalu sederhana. Tetapi aku percaya, dia yang bisa membuatku bahagia. Padahal pada masa itu, aku adalah bunga di desaku. Parasku cantik, mata lentik, dan kulit putih bersih warisan dari ibu. Sudah begitu, aku pun juga seorang anak lurah yang cukup berada. Banyak lelaki yang ingin memperistriku, dari teman sepermainanku hingga anak bangsawan raja tanah berhektar-hektar luasnya. Tetapi mungkin inilah yang namanya  jodoh, keyakinan itu tidak mampu dibeli, bahkan dengan harta berapapun.” ujar seorang wanita tua di depanku. Usianya kurang lebih 70 tahun, tetapi sisa kecantikannya masih tampak jelas. Hanya saja kali ini, keriput di wajahnya lebih mendominasi. Aku memandanginya, menunggunya melanjutkan cerita sembari menyeduh  secangkir teh yang dihidangkannya untukku. Hangat dan nikmat.

” Aku selalu percaya bahwa hati tidak bisa dibohongi. Aku pun meyakinkan orang tuaku bahwa dia yang terbaik untukku dan pada akhirnya kami bisa menikah juga. Awalnya aku merasa sangat bahagia, tetapi seiring berjalannya waktu, sifat aslinya terlihat jelas, tanpa tameng apapun. Dia sangat keras, egois dan pemarah. Kau tahu sendiri kan nak, pada jaman dahulu wanita memang dinilai rendah di mata pria. Dianggap sebagai pelayan yang harus menuruti maunya.”

Aku mengangguk, menyetujui pendapatnya. Memang begitulah budaya Jawa, di mana seorang istri sangat menghargai suami, bahkan saking nurutnya kadangkala istri pun tak diberi kesempatan untuk bicara. Yang jelas, istri itu harus nurut, membuat suami senang, sami’na wa ata’na, entah suami benar ataupun salah.

” Aku tidak pernah menuntutnya untuk menjadi kaya, makan pun seadanya. Apalagi perhiasan. Mungkin itu hanya impianku semata. Melihatnya mau bekerja meski sebagai kondektur dengan gaji yang tidak seberapa, itu sudah membuatku bersyukur tiada habisnya. Aku rela hidup berpisah dari orang tua, menempati rumah berdinding bambu sederhana bersamanya. Aku sangat mencintainya dan taat kepadanya. Setiap hari aku bangun pukul 3 pagi. Menyiapkan air hangat untuk mandi,aku takar agar tidak terlalu panas di kulitnya, kuletakkan handuk di ujung kamar mandi, kuoleskan odol pada sikatnya, kutempatkan sabun di tempat biasanya. Semuanya harus tertata dan siap sedia ketika dia bangun dari tidurnya. Pun juga baju dan celana yang telah kusetrika rapi, lengkap juga dengan masakan yang telah aku siapkan dengan penuh cinta. Meskipun kadang dia hanya mencicipi tiga sendok makan saja.”

” Ah, pasti bahagia sang suami, ya? “ Tanyaku sembari memandang takjub wanita tua di depanku itu.

Dia menggeleng.

” Tidak juga, sikap baikku itu diartikannya sebagai sikap yang seharusnya dilakukan seorang istri kepada suami. Sudah sepantasnya demikian. Seumur hidup tidak pernah aku dengar ucapan terimakasih dari mulutnya. Malah sebaliknya, kadangkala jika ada kesalahan sedikit saja, dia marah dan mencaci diriku. Pernah pada suatu malam, setelah aku menyiapkan makan malam, menyiapkan air hangat dan baju gantinya, aku menunggunya pulang kerja. Karena saking lelahnya, aku ketiduran dan tidak mendengarnya datang. Aku terbangun ketika mendengar bunyi barang di lempar, kulihat ke arah ruang makan sayur  dan lauk yang kumasak sudah berceceran di lantai tanah, beberapa barang juga sudah berbentuk tak karuan. Aku hanya diam, bersabar. Sebagaimanapun rasa sakitnya yang kuderita, aku sudah bertekad. Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku dan akan kubaktikan sisa hidupku kepada suamiku..,” ujarnya tertahan sembari menghela nafas.

Aku terdiam, tak sanggup berkata apapun.

” Beberapa tahun kemudian, ketika anakku telah lima jumlahnya. Kami ditimpa musibah. Dia terkena penyakit wasir. Anehnya, penyakit ini tidak kunjung sembuh meski telah dioperasi sebanyak lima kali. Dari Rumah Sakit di Semarang, Jakarta, Solo, bahkan hingga pengobatan tradisional tidak mempan. Karena sakit, tentu saja dia tidak bisa bekerja. Dan mau tak mau aku yang menggantikannya. Pagi buta aku membuat kue yang kutitipkan ke toko kue di pusat kota. Setelah itu bekerja sebagai bagian tata usaha di SMA, sorenya aku menjadi juru rias manten atau kerja di salon. Malamnya aku menunggui suamiku hingga sebelum subuh tiba. Begitu kulakukan hingga suamiku sembuh setelah hampir 5 tahun lamanya keluar masuk rumah sakit. Kondisinya yang menjadi sakit-sakitan setelah keluar dari rumah sakit membuatku mau tak mau juga ikut bekerja selain juga mengurus keluarga seperti biasanya. Tidak ada yang berubah, hanya saja bertambah amanah. Alhamdulilah kelima anakku sekarang menjadi orang semua. Mampu mempunyai rumah sendiri, penghasilan yang cukup, itu sudah membuatku bahagia.”

” Subhanallah, luar biasa...” ujarku menahan air mata.

Aku ingin bertanya lebih banyak lagi kepadanya. Tetapi seorang laki-laki tua berambut putih keluar dengan terhuyung dari kamarnya ketika suara adzan  ashar terdengar.

“ Ti, ayo solat..” ujarnya. Wanita tua di depanku mengangguk. Dituntunnya lelaki tua itu menuju mushola.

” Allahuakbar..iftitah..bismillahirahmanirrahim..” kudengar sayup-sayup sang wanita tua itu menuntun lelaki tua yang ternyata sudah pikun untuk melafalkan bacaan dan gerakan sholat. Aku merinding melihatnya. Yah, dirinya bagai seekor burung pipit yang berjiwa elang, jika suatu saat nanti dia harus terbang, kuharap surga yang menjadi tujuannya.

Blora, 3 September 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline