Ganti Menteri, Kurikulum Ikut Terseret
Lengsernya Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan kebudayaan membuktikan bahwa kurikulum 2013 tidak berhasil. Karena sejauh ini banyak sekolah yang masih menerapkan 2 sampai 3 kurikulum di sekolah yang sama, dimana kurikulum yang berlaku ialah KTSP 2006, K-13, dan K-13 Revisi. Ketidakpastian kurikulum yang berlaku di negeri ini membuat pendidikan terhambat dikarenakan para guru masih sulit menerapkan Kurikulum 2013. Masalah belum terselesai secara nyata kini presiden Joko Widodo, kembali me-ressuffle menterinya. Dan Anis Baswedanpun ikut tersinggir sehingga digantikan oleh Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP. Seperti sebelum-sebelumnya jika berganti menteri, ganti pula kebijakannya. Begitupaun hanya dengannya pendidikan.
K-13 yang dinilai oleh guru/dosen yang paham akan kurikulum menganggap K-13 sudah sempurna unuk dijadikan kurikulum karena telah memuat 3 ranah pendidikan yaitu Afektif, Koqnitif dan Psikomootorik yang terbagi dalam 4 Kompetensi Inti yaitu K.I 1 mencangkup sikap Spriritual, K.I 2 mencangkup sikap Sosial, K.I 3 yaitu mencangkup Pengetahuan dan K.I 4 yang mencangkup keterampilan. Penyataan ini dikarenakan semua guru yang mengajar wajib mengembangkan ketiga ranah ini dalam setiap pertemuan atau tatap muka dengna siswa.
Sementara para guru masih berpacu untuk memahami K-13, kini muncul kurikulum baru lagi yaitu K-13 Revisi 2017/2018. Namun perubahan ini bukannya baik malah menurun. Hal ini yang diutaran oleh salah satu oleh yang mengajar di Perguruan Tinggi Negeri tempat penulis mengenyam bangku pendidikan. Beliau mengatakan bahwa kurikulum di Indonesia sudah mengalami perubahan sebanyak 11 sampai 12 kali namun yang dirasa paling baik adalah K-13 ini, karena semua guru yang mengajar diharuskan mengembangkan 3 domain yaitu afektif, pengetahuan dan psikomotorik. Tapi sekarang kurikulum baru sudah diumumkan tapi kewajiban mengembangkan sikap spiritual dan social hanya di bebankan pada guru agama dan ppkn, sedangan guru yang lain hanya focus pada pengetahuan dan psikomotoriknya saja. Hal ini akan menjadi kendala pendidikan di masa depan karena yang terpenting dari berhasilnya sebuah pendidikan bukan dilihat dari berapa besar nilai yang siswa peroleh melainkan seberapa banyak perubahan yang terjadi pada siswa setelah mengikuti pelajaran.
Seharusnya jika pendidikan ingin berkembang apalagi maju, siapapun menteri yang menduduki jabatan harus mengutamakan pendidikan itu dimana, jika kebijakan yang lama masih baik (kurikulum) maka dilanjutkan saja karena untuk membuat suatu kurikulum yang sempurna tidak cukup waktu 1-2 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H