Lihat ke Halaman Asli

Rani Febrina Putri

Fresh Graduate, Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Dialog di Gerbong Kereta

Diperbarui: 31 Agustus 2023   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kereta api ekonomi tipe package(PT KAI Daop VI Yogyakarta via Kompas.com)

Kota Yogyakarta disiram bintang di langit malam ini. Setelah menemukan kursiku, aku menaruh ransel di penyimpanan atas kursi, kemudian duduk sambil mengatur napas yang agak tersengal. Kubuka botol minum berwarna biru muda berisi air putih. Baru seteguk aku meminumnya, kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun dengan segala hiruk pikuknya. Kulihat ibu paruh baya di sampingku sedang asyik dengan ponselnya. 

Kursi di hadapanku kosong. Aku kembali lega karena meskipun memilih gerbong ekonomi, aku bisa sedikit leluasa karena tidak ada penumpang di hadapanku, setidaknya sampai stasiun berikutnya.

Namun, tiba-tiba seorang laki-laki remaja yang terlihat seumuran denganku duduk di kursi yang ada di hadapanku. Ia meletakkan ranselnya yang tidak begitu besar di pahanya. Aku membetulkan posisi duduk agar kami sama-sama nyaman. Lalu aku memperbaiki kunciran rambut sambil menyembunyikan kekesalan karena ruang gerakku jadi sempit. Kudengar dering telepon di ponsel laki-laki tadi, lalu dia mengangkatnya sambil bergeser ke kursi dekat jendela, tidak lagi di hadapanku.

"Maaf, Bu, Tama belum bisa beli bakpianya." kata laki-laki itu di telepon yang terdengar olehku karena jarak kita yang dekat.

"Bukan, Bu. Tama masih punya uang, tapi ini untuk ditabung supaya Tama bisa balik lagi ke Jogja. Nanti kapan-kapan Tama belikan ya, Bu." ujarnya lagi agak pelan karena menyadari bahwa aku memperhatikannya.

"Iya, Ibu cepat sembuh ya." Kali ini dia menjawab telepon sambil melirikku. Aku salah tingkah dan segera mengalihkan pandangan ke ponselku. Aku merasa bersalah karena tidak sengaja mendengarnya dan refleks memperhatikan pembicaraannya di telepon. Setelah kulihat dia sudah menutup telepon, aku segera menegurnya dan meminta maaf. Ibu di sampingku tidak mengetahui karena kulihat dia tertidur.

"Aku tidak bermaksud menguping, maaf."

"Tidak apa-apa, Kak." ujarnya sambil memasukkan ponsel ke ranselnya. Kulihat tertempel stiker logo universitasku di casing ponselnya.

"Wah, satu kampus ternyata." gumamku dalam hati.

Aku tersenyum, kemudian terlintas di pikiranku untuk memberinya bakpia, kebetulan aku membeli dua kotak. Aku menduga ibunya sedang sakit dan laki-laki bernama Tama itu ingin membelikan bakpia namun dia belum punya uang yang cukup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline