Lihat ke Halaman Asli

Rania Sabrina

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Ramai Perbincangan Soal Body Positivity: Yakin, Sudah Menerapkannya?

Diperbarui: 9 Juni 2022   07:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber gambar: www.dreamstime.com)

Beberapa tahun terakhir, kita, khususnya para remaja dan adolesen, pasti sering membaca ataupun sekadar mendengar kata body positivity. Entah dari media sosial, webinar yang pernah diikuti, ataupun produk kosmetik dan pakaian yang sedang digunakan. 

Kata yang konon penting untuk dipahami dan diinterpretasikan pada diri sendiri juga orang lain. Kata yang menurut orang-orang bisa berdampak pada kepercayaan diri, kesehatan mental, dan kesehatan fisik manusia. Namun, apa sih, sebenarnya makna dari body positivity?

Menurut Yayasan Pulih (2020), body positivity berarti keadaan dimana seseorang menanamkan pola pikir positif bahwa setiap orang, termasuk dirinya, layak memiliki pandangan yang positif terhadap tubuhnya sendiri, terlepas dari bagaimana masyarakat, budaya, atau tren menilai tubuh yang 'ideal'. 

Semua berawal dari tahun 1969, ketika seorang insinyur bernama Bill Fabrey sangat marah dengan cara masyarakat sekitar memperlakukan istrinya, yang gemuk.

Dia membaca sebuah artikel oleh seorang pria gemuk bernama Lew Louderbach tentang cara-cara tidak adil orang gemuk diperlakukan, kemudian membuat salinan dan membagikannya kepada semua orang yang dia kenal. 

Dari situ, Fabrey mendirikan National Association to Aid Fat American (organisasi hak orang gemuk terlama di dunia). Selama perjalanannya, gerakan ini menimbulkan banyak pro-kontra dan meraih isu yang dikaitkan dengan ras dan kelompok masyarakat tertentu karena prinsip yang cenderung masih samar.

Menginjak tahun 2000-an, orang-orang mulai mengenal media sosial dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak pengguna media sosial yang mengajak untuk mencintai tubuh (body-love), tetapi banyak pula yang menyebarkan body-shame atau kebencian terhadap tubuh orang lain. Waktu berjalan, kampanye yang awalnya hanya pembelaan terhadap hak orang gemuk, akhirnya mulai mencakup hal yang lebih luas. 

Saat itu mulai terpakai istilah "Body Positivity Movement" atau "Gerakan Kepositifan Tubuh". Para aktivis memfokuskan kampanyenya melalui akun media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. 

Mereka juga mempopulerkan tagar-tagar seperti #loveyourbody (cintai tubuhmu) dan #allbodiesarebeautiful (semua tubuh itu indah). Agar visibilitas akan bentuk dan ukuran tubuh yang sebenarnya lebih tersorot, para influencer memunculkan tren #OOTD atau kepanjangan dari outfit of the day (pakaian hari ini) dan selfie yang memperlihatkan tubuh mereka, termasuk segala kekurangannya. 

Tren ini memiliki tujuan awal agar orang-orang bisa lebih bebas mengekspresikan tubuh mereka apa adanya dan melawan stigma masyarakat akan "bentuk tubuh ideal" ataupun "standar kecantikan" yang dianggap tidak mendasar. Selain itu, body positivity juga dikobarkan oleh para merek kosmetik dan pakaian sambil mempromosikan produk-produk mereka.

Kampanye yang terus bersimpang-siur dalam kehidupan sehari-hari terinterpretasi cukup berbeda pada setiap individu yang mendengarnya. Kebanyakan orang menjadi lebih percaya diri tampil dengan tubuh yang dimiliki. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline