MENGULAS KONSEP TOLERANSI DALAM BERAGAMA UNTUK MELAHIRKAN PENDIDIKAN ISLAM CINTA DAMAI BERDASARKAN PERSPEKTIF KH ABDURRAHMAN WAHID
By: Rania Putri Yuli Setyaningrum (1903016051)/PAI
- PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara yang mengakui beberapa agama serta memiliki keberagaman suku, ras, budaya, dan adat istiadat. Dengan keberagaman tersebut maka berpotensi memunculkan berbagai perbedaan yang apabila tidak disikapi dengan bijak akan memicu perselisihan dan perpecahan baik yang berkaitan dengan hubungan keagamaan maupun sosial. Salah satu contohnya adalah kasus yang terjadi di beberapa daerah seperti Situbondo, Ambon, dll. Kerusuhan tersebut bermula dari adanya ketegangan elit politik yang mengakibatkan kerusuhan dalam kehidupan bermasyarakat seperti rusaknya tempat beribadah seperti masjid, gereja, dll sehingga terjadi pula ketegangan antar umat beragama[1]. Untuk itu diperlukan sikap toleransi untuk mencegah perpecahan yang dapat membahayakan kesatuan bangsa, dan agama.
Toleransi adalah sikap yang mencerminkan kemampuan dalam menerima perbedaan pandangan yang dianut orang lain[2]. Salah stau tokoh pemikir Islam yang mengawal sikap toleransi beragama ditengah pluralitas adalah KH Abdurrahman Wahid. Di dalam dunia pendidikan, belum seluruhnya lembaga pendidikan mampu menjamin penerapa sikap toleransi dikalangan anak didiknya sehingga masih kerap terjadi intoleransi seperti pembedaan terhadap siswa yang menganut agama dan suku tertentu. Hal ini merupakan langkah awal dari terjadinya perselisihan. Untuk itu sikap toleransi sangat penting diajarkan sedini mungkin melalui lembaga pendidikan khususnya pendidikan Islam. Menyadari pentingnya sikap toleransi dalam bergama, penulis tertarik mengupas lebih dalam mengenai konsep toleransi dalam beragama untuk melahirkan pendidikan Islam yang cinta damai berdsarkan perspektif KH Abdurrahman Wahid.
- PEMBAHASAN
KH Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gusdur adalah putra pertama dari pasangan KH Wahid Hasyim dan Hj Sholehah yang pada sat itu merupakan keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Gusdur lahir di Denanyar pada tanggal 7 September 1940. Sejak kecil beliau memiliki hobi membaca dan pendidikan awal beliau dimulai dari belajar mengaji dan membaca Al Qur'an kepada sang kakek yaitu KH Hasyim Asy'ari. Pendidikan formal beliau dimulai dari SD KRIS kemudian pindah ke SD Perwari mengikuti ayahnya. Pada jenjang SMP beliau melanjutkan pendidikan di SMEP Gowongan sembari mondok di Pesantren Krapyak. Disinilah beliau belajar bahsa inggris untuk pertama kalinya[3]. Pada tahun 1957 beliau melanjutkan pendidikan di Pesantren Tegalrejo yang diasuh oleh Kiai Chudhori Magelang Jawa Tengah. Kemudian tahun 1959, beliau pindah ke pesantren tambak beras jombang yang diasuh oleh Kiai Wahab Chasbullah hingga tahun 1963. Dari sinilah karakter beliau terbentuk dengan kepribadian yang kuat, berprinsip, disiplin, serta berjiwa humanis terhadap sesama. Tahun 1963 beliau melanjtkan studi di Universitas Al-Azhar, kemudian pasa tahun 1966 beliau pindah ke Irak dan dan masuk dalam Departement of religion di Universitas Baghdad dampai tahun 1970 dan memperoleh gelar Lc. Tahun 1971 perjalanan akademik beliau berakhir setelah sempat mempelajari kejian islam lebih dalam di McDill University Kanada dan memilih kembali ke tanah air. Setelah kembalinya ke tanah air, beliau merintis Pesantren Ciganjur di Jakarta pada tahun 1979 dan menjadi wakil katib syuriah PBNU pada awal tahun 1980. Kemudian beliau berkhidmat di MUI sejak tahun 1980-1990. Dari perjalanan hidup tersebut, beliau bertemu banyak orang dengan latar belakang yang berbeda beda sehingga beliau mendapatkan banyak pengalaman dan pelajaran berharga. Latar belakang pendidikan dan pengalamannya dengan wacana kritis mengakibatkan beliau juga turut berkecimpung dalam dunia sosial, politik, serta keislaman kontemporer ermasuk humanisme terhadap sesama dan toleransi beragama.
Sebagai tokoh intelektual muslim, Gusdur telah memberikan berbagai sumbangsih dalam dunia intelektual muslim di Indonesia salah satunya mengenai konsep toleransi beragama. Toleransi diartikan sebagai sikap lapang dada terhadap kepercayaan yang dianut dan diyakini orang lain tanpa mengorbankan kepercayaan yang dianut diinya sendiri[4]. KH Abdurrahman Wahid atau Gusdur mengatakan bahwa toleransi bukan tentang persoalan epistemologi sehingga membutuhkan definisi, tetapi aksiologi dari konsep-konsep yang bersikap normatif dalam Islam. Gusdur memposisikan toleransi dalam bertindak dan berfikir. Sikap toleransi tidak diukur dari seberapa tinggi tingkat pendidikan seseorang, tetapi toleransi berkaitan dengan persoalan hati dan perilaku. Tidak semua orang yang kaya dan berpendidikan tinggi memiliki sikap toleransi yang tinggi, tetapi toleransi juga banyak dimiliki oleh orang yang kurang mampu dan berpendidikan rendah. Toleransi dan pluralisme memiliki kaitan yang erat karena toleransi muncul bersamaan dengan pluralisme. Jika pluralisme berbicara mengenai bagaimana realitas kemajuemukan beragama dapat diterima, maka toleransi lebih menekankan kepada bagaimana berperilaku dalam kemajemukan itu sendiri. Toleransi dalam pemikiran Gusdur secara teoritik bukanlah sebuah pemikiran yang terpisah dalam dimensi keagamaan, tetapi merupakan proses dialogis antara ilmu keagamaan dengan keilmuan humaniora yang menghasilkan sikap dan perilaku toleran sebagai aksiologinya[5]. Gusdur yang sering disebut sebagai cendekiawan muslim neomodernisme mengaitkan toleransi dengan 5 ajaran universal dan kosmopolitanisme islam yang di dasarkan pada 5 jaminan dasar Islam yang disebut dengan maqasid syari'ah yang meliputi keselamatan fisik, keyakinan (agama), keluarga dan keturunan, harta, serta profesi.