Industri perbankan syariah di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang signifikan terutama setelah krisis moneter antara tahun 1997-2001. Ketika banyak bank konvensional Indonesia terpuruk mengakibatkan beberapa harus dilikuidasi atau dimerger untuk bertahan.
Bank syariah satu-satunya saat itu yaitu Bank Muamalat Indonesia berhasil bertahan yang mendorong bank konvensional untuk membuka unit syariah sebagai langkah antisipasi menghadapi krisis serupa di masa depan. Minat masyarakat terhadap bank syariah juga meningkat yang didukung oleh upaya sosialisasi dari Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional serta dukungan dari lembaga penelitian dan akademisi/praktisi dalam menyebarkan pengetahuan tentang sistem perbankan syariah.
Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan berbagai fatwa mengenai produk-produk perbankan syariah. Hingga Maret 2017, Dewan Syariah Nasional telah menerbitkan 32 fatwa tentang perbankan syariah. Namun, tidak semua fatwa tersebut diterapkan oleh perbankan syariah karena keterbatasan sumber daya manusia dan pengetahuan tentang produk yang halal dan diperbolehkan dalam transaksi perbankan syariah.
Salah satu produk yang diperdebatkan oleh ulama di Indonesia adalah bai'at-tawarruq. Produk ini telah diadopsi sebagai akad perbankan syariah oleh banyak negara Islam dan negara dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti negara-negara di Timur Tengah dan Malaysia. Namun di Indonesia, akad tawarruq tidak atau belum disetujui sebagai produk perbankan syariah karena beberapa ulama mengkategorikannya sebagai transaksi yang cenderung makruh atau bahkan haram.
Meskipun produk tawarruq belum disetujui sebagai salah satu produk perbankan syariah, Fatwa DSN-MUI Nomor 82 Tahun 2011 memperbolehkan transaksi yang menyerupai tawarruq untuk dilaksanakan dalam jual-beli komoditi dengan syarat tambahan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan akad tawarruq dapat dijadikan produk perbankan syariah di masa depan asalkan disertai dengan aturan tambahan untuk mencegahnya dari hal-hal yang meragukan, makruh, atau haram dalam Islam.
Tawarruq, yang berasal dari bahasa Arab "wariq" yang berarti perak. Merujuk pada kegiatan mencari perak, uang atau harta dalam arti yang lebih umum. Dalam konteks literatur, tawarruq dapat diartikan sebagai berbagai cara yang dilakukan untuk memperoleh uang tunai atau likuiditas. Mazhab Hambali memperkenalkan istilah tawarruq sementara Mazhab Syafi'i menggunakan istilah "zarnaqah" yang berarti pertambahan atau perkembangan (Al-Khatslan, 2012, 114). Definisi tawarruq menurut Mazhab Hambali adalah kegiatan di mana seseorang membeli barang secara cicilan, lalu menjualnya secara tunai kepada pihak ketiga (selain penjual pertama) dengan harga yang lebih murah untuk mendapatkan uang tunai atau likuiditas (Al-Mardawi, 1347, 195).
Dalam konteks Hukum Islam, tawarruq mengacu pada berbagai metode yang dapat digunakan oleh seseorang yang membutuhkan uang tunai (mustawriq/mutawwariq) untuk mendapatkan likuiditas. Tawarruq adalah jenis transaksi jual-beli yang melibatkan tiga pihak, yaitu pemilik barang yang menjualnya kepada pembeli pertama dengan pembayaran yang ditunda (cicilan), kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli terakhir dengan pembayaran tunai. Harga yang ditetapkan untuk pembayaran secara cicilan lebih tinggi daripada harga jual tunai terakhir, sehingga pembeli pertama seolah-olah memperoleh pinjaman uang dengan pembayaran yang ditunda (cicilan).
Kebolehan tawarruq dapat ditemukan dalam Al-Qur'an, yang menegaskan bahwa jual beli adalah halal dan riba adalah haram. Al-Qur'an juga memberikan pedoman tentang perdagangan yang harus dilakukan dengan sukarela antara para pihak. Tawarruq pada dasarnya adalah transaksi jual beli yang diperbolehkan dalam Islam.
Di mana sebagian dilakukan secara tunai dan sebagian lagi secara kredit. Meskipun demikian, sebagian ulama mengaitkan tawarruq dengan transaksi ba'i al-'inah yang umumnya dianggap haram. Meskipun tawarruq dan ba'i al-'inah memiliki perbedaan hakiki, di mana dalam ba'i al-'inah seseorang membeli barang secara cicilan dari penjual dan kemudian menjualnya kembali kepada penjual yang sama dengan harga tunai yang lebih rendah dari harga kreditnya yang memungkinkan barang tersebut kembali ke pemilik asalnya.
Dewan Syari'ah Nasional yang merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia bertugas mengawasi dan mengatur perbankan syari'ah agar tetap beroperasi sesuai dengan hukum Islam. Mereka telah mengeluarkan berbagai fatwa yang menjadi panduan bagi masyarakat dan praktisi perbankan dalam memberikan pendapat atau keputusan tentang produk-produk perbankan syari'ah.
Bersama dengan Majelis Ulama Indonesia dan Bank Indonesia, Dewan Syari'ah Nasional berupaya menciptakan lingkungan perbankan syari'ah yang sehat dengan menghindari produk yang bertentangan dengan syariah, mengizinkan beberapa produk, dan melarang yang lainnya. Salah satu produk yang dilarang adalah akad tawarruq, meskipun di beberapa negara hal ini diperbolehkan.