Lihat ke Halaman Asli

Rani Sabila

Penuang rasa

Perjalananku: Corona, Literasi, Kompasiana

Diperbarui: 7 Juni 2021   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Tahun 2019 lalu, di kota Wuhan, China digemparkan oleh sebuah virus yang kemmudian disebut dengan virus corona. Virus corona kemudian menyebar ke luar negara bahkan telah sampai ke Indonesia pada kira-kira tahun 2020 lalu.
Corona adalah sebuah virus yang sangat berbahaya bagi tubuh. Kata corona berasal dari bahasa Latin crown (mahkota) atau wreath (rangkaian bunga bundar), hal ini mungkin karena bentuknya yang bundar menyerupai bunga, bentuknya begitu kecil, jujur saya sendiri belum pernah melihatnya. Virus corona juga disebut zoonosis yang artinya ditularkan antara hewan dan manusia. Dampaknya yaitu menimbulkan gangguan pencernaan bagi hewan, juga menyerang atau merusak saluran pernapasan pada manusia. (Rossi Passarela, dkk.)
Sangat berbahaya bukan? Eits, tapi di sini saya tidak akan menceritakan panjang lebar dan lebih dalam tentang corona melainkan, akan menceritakan perjalanaan saya menuju dunia literasi sebab si kecil mungil yang mematikan ini.
Di Indonesia, tingkat kematian akibat corona meningkat pesat, bahkan mencapai 10 ribu jiwa yang terkena kasus corona. Untuk mencegahnya atau mengurangi penularan corona, pemerintah melarang warga negara untuk berkerumun, sehingga tempat-tempat umum harus ditutup termasuk instansi pendidikan (sekolah). Alhasil, segala kegiatan harus dilakukan di rumah. Ini membuatku begitu bosan. Owh iyah, sebelumnya aku sangat menyukai belajar bahasa Jepang. Bahkan, sempat ingin mengambil jurusan sastra jepang. Namun, orangtuaku tak merestui. Sad banget ya
Akhirnya, kebosananku membawaku untuk kembali belajar bahasa Jepang melalui grup-grup whatsapp yang kutemui di jejaring sosial facebook. Di sana aku mengenal banyak orang yang mahir bahasa jepang, salah satunya Luthfi Senpai. Tak hanya mahir bahasa Jepang, beliau juga penyuka kata-kata dan puisi juga fotografer alam. Banyak aku bertanya padanya, lalu aku dikenalkan dan diajarkan membuat haiku dan senryuu (puisi jepang). Aku membuat sebuah kata-kata pada status WA, senpai pun melihatnya dan kami berbincang-bincang mengenai literasi, aku disarankan untuk masuk grup literasi di FB. Sejak saat itu, hampir semua grup literasi ku masuki. Akhirnya, aku bertemu sajak senja (sekarang: Komunitas Sajak Indonesia (KSI)), ternyata ada GC nya. Hanya beberapa orang saja di sana, semakin ke sini semakin ramai penghuninya, masuklah ka Azis, ya, Abdul Azis dari Kediri, sang penyair dan lakon teater yang terkenal itu. Masuk lagi Pak Asrul Sani Abu, Bu Ari Budiyanti, Bu Syekti, dan senior-senior lain. Di sini aku banyak mendapat pelajaran.
Suatu ketika, bu Ari mengenalkan Kompasiana yang awalnya ku kira hanya wadah berita, ternyata literasi pun ada.  Aku bertanya kepada Bu Ari, ternyata beberapa kali ku coba membuat akunnya selalu gagal. Tiba-tiba ka Azis berbaik hati untuk mendaftarkan. Sejak itu aku mulai menulis di kompasiana. Tidak terlalu sering memang karena aku penulis amatir (hanya untuk kesenangan).
Semakin ke sini, banyak kukenali kompasioner-kompasioner yang wahhh, seperti bapak Tjipta, pak Indra, Ka Abdul, dan masih banyak yang lainnya yang membuatku terpukau akan artikel-artikelnya.
Mungkin sampai di sini dulu ya, kisah perjalananku menuju literasi hingga sampai ke kompasiana yang tetntu saja berawal dari corona virus, hihi.. So, corona tak hanya berdampak buruk, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline