Ribuan warga Solo Raya dan wisatawan memadati kawasan Pasar Gede pada malam tahun baru Imlek, Selasa 28 Januari 2025.
Puncak acara Grebeg Sudiro 2025 yang mengusung tema Harmony in Diversity, berlangsung semarak dan meriah. Menampilkan berbagai rangkaian acara pentas budaya, kesenian, panggung hiburan dan pesta kembang api yang menggambarkan harmoni antara budaya Jawa dan Tionghoa.
Sejarah Tradisi Grebeg Sudiro di Sudiroprajan
Kampung Balong, kelurahan Sudiroprajan Solo merupakan chinatown atau kampung pecinan terbesar di Solo yg dihuni etnis Jawa dan Tionghoa. Berawal dari imigrasi warga Tiongkok sejak abad 15 ke Indonesia lalu menyebar ke seluruh wilayah di Indonesia termasuk ke wilayah kota Solo.
Seringnya terjadi transaksi perdagangan di Pasar Gede yang terletak di Sudiroprajan membuat semakin berkembangnya interaksi budaya antar warga di kampung Balong. Apalagi kala itu Pasar Gede menjadi pusat perdagangan masyarakat Solo.
Hubungan antar etnis telah terjalin erat sejak dulu oleh para raja-raja di kerajaan Kasunanan maupun Mangkunegara. Seperti hubungan pertemanan tokoh Tionghoa Be Kwat Koen dengan KGPAA Mangkunegara VII dan terus berlanjut dari tahun ke tahun.
Suatu hari Pakubuwono X dari keraton Kasunanan Solo mengunjungi Balong, ketika minum teh tutup tekonya jatuh dan tidak ditemukan. Dari sanalah lalu dibangun prasasti Bok Teko dimana Teko menjadi simbol dari masyarakat dan tutup teko menjadi simbol dari penguasa yang saling menyatu dalam kebersamaan.
Berawal dari tradisi Bok Teko inilah lahirlah Grebeg Sudiro, diambil dari nama kelurahan Sudiroprajan yang berkaitan dengan filosofi Bok Teko yaitu kebersamaan antara rakyat dan penguasa.
Seiring berjalannya waktu, tradisi ini berkembang menjadi sebuah rangkaian tradisi perayaan tahunan di setiap tahun baru imlek di Solo yang dipusatkan di sekitar Pasar Gede dan Balaikota Solo.