Lihat ke Halaman Asli

Rania Wahyono

TERVERIFIKASI

Freelancer

"Hustle Culture", Saat Kerja Keras Bagai Kuda Jadi Bumerang

Diperbarui: 18 Agustus 2024   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi seseorang yang terjebak pada hustle culture. | Foto: Pexels.com/energepic.com

Di lingkungan yang dinamis dan semakin kompetitif, semuanya berlomba menjadi yang tersibuk, mengorbankan tidur, kehidupan sosial, dan kesehatan dengan harapan semua kerja keras itu akan membuahkan kesuksesan.

Semakin sibuk, semakin keren. Istilah "kerja keras bagai kuda" menjadi simbol betapa kita terus berlari tanpa henti untuk mengejar impian, target atau bahkan validasi sosial.

Bangun tidur, aktivitas pertama kali yang dilakukan adalah memeriksa notifikasi di handphone. Ketika sudah di kantor mulai berpacu dengan waktu, dari meeting ke meeting, bertemu client lalu duduk berjam-jam menghadap layar komputer. Makan seadanya, bahkan waktu istirahat dipakai untuk bekerja. 

24 jam sehari rasanya tidak cukup. Bahkan saat kumpul dengan teman atau keluarga, handphone dan pikiran selalu on dan standby. Aktivitas ini terus berulang setiap harinya. Inilah yang dinamakan hustle culture.

Gaya hidup yang satu ini sedang trend, terutama di kalangan anak muda yang ambisius. Tapi, apa sebenarnya hustle culture itu? Kenapa banyak orang terjebak di dalamnya, dan yang paling penting bagaimana mengatasinya?

Apa Itu Hustle Culture, Mengapa Bisa Terjebak di Dalamnya?

Hustle bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya adalah mendorong lebih cepat. Ungkapan hustle culture diartikan sebagai budaya kerja yang mendorong seseorang agar bergerak lebih cepat dan agresif.

Belakangan, hustle culture telah menjadi standar tolak ukur kinerja dan produktivitas generasi muda. Di mana bekerja keras tanpa lelah terus-menerus dianggap sebagai hal yang sangat penting dan menjadi standart kesuksesan hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya. 

Beberapa menganggap hustle culture sebagai motivasi untuk bekerja lebih keras agar dapat meraih kesuksesan. Tetapi banyak juga yang menganggapnya toxic karena perlahan-lahan akan mengganggu kesehatan fisik dan mental.

Ada banyak alasan kenapa bisa terjebak pada hustle culture. Media sosial sering kali menampilkan kehidupan orang-orang sukses yang seolah-olah hanya dicapai melalui kerja keras yang tak kenal lelah.

Ditambah lagi slogan dan quotes motivasi dari para motivator seperti "Tidur hanyalah untuk orang yang lemah" atau "Jangan pernah berhenti bekerja" semakin mendorong perasaan bersalah jika tidak bekerja keras setiap saat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline