Lihat ke Halaman Asli

Adol Frian Rumaijuk

Berjuang demi sesuap nasi

Kearifan di Toba Tangkal Dampak MEA

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pola hidup bergotong royong menjadi ciri khas warga Indonesia khususnya warga yang tinggal di kawasan Toba, Sumatera Utara. Kegiatan-kegiatan mulai dari pertanian, pesta adat, hingga hal lainnya dilakukan dengan bersama-sama. Dengan filosofi meringankan pekerjaan berat, menjadi dasar tolong menolong warga.

Pada umumnya, untuk kegiatan pertanian disebut dengan istilah 'marsiadapari'. Marsiadapari dapat diartikan sebagai tenaga diganti dengan tenaga. Hal ini bisa dilakukan mulai musim pengolahan tanah sampai masa panen di perswahan.

Saat akan mengolah lahan, pemilik lahan akan mencari rekan sekampung untuk diajak sama-sama mengerjakan lahan tersebut. Dan sesuai dengan jumlah hari yg telah dilalui di lahan tersebut akan diganti dengan bekerja bersama kembali di lahan rekannya tadi. Bahkan, jenis pekerjaan yg dilakukan bisa berbeda asalkan sudah ada kesepakatan.

Jadi upah dari segi uang atau barang tidak perlu dipikirkan oleh seorang petani. Dengan cara ini juga, pekerjaan yg berat akan terasa ringan ketika dikerjakan bersama-sama.

Selain 'marsiadapari', istilah lain digunakan untuk gotongroyong saat ada pesta adat. Pesata adat bisa saat pernikahan, pesta adat meninggal dunia, dan adat lainnya. Disebut dengan 'marhobas', dimana setiap pemuda dan pemudi yang ada di suatu kampung akan turut serta secara sukarela membantu pekerjaan pelaksanaan sebuah pesta.

Tuan rumah (hasuhuton) akan memberikan kepercayaan kepada pihak 'boru' untuk mengkomandoi para pemuda dan warga kampung yang turut melayani dalam sebuah pesta. Mulai dari menyiapkan tempat, untuk menyiapkan konsumsi, bahkan membersihkan lokasi pesta jika dibutuhkan.

Hasuhuton akan sangat terbantu dengan kondisi ini. Dimana, secara otomatis kearifan lokal ini akan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan saat akan melaksanakan sebuah pesta.

Ada juga konsekuensinya bagi seorang/keluarga yang kerap tidak mau ikut serta dalam kegiatan 'marhobas'. Saat keluarga ini mengadakan hajatan, maka pemuda dan warga lainnya tidak akan membantu mempersiapkan pestanya.

Sayangnya, kearifan lokal seperti ini sudah mulai terlupa dari kehidupan di Sumut, Khususnya masyarakat Bangso Batak. Bangso Batak yang malakoni kegiatan ini sejak dahulu mulai melupakannya. Generasi saat ini terpengaruh oleh masuknya budaya-budaya simplikasi dalam melakukan sebuah pekerjaan maupun hajatan.

Kesenjangan ekonomi pertama sekali menggerus kearifan lokal ini. Dimana, seseorang yang merasa ekonominya mapan akan enggan mengikuti warga lainnya 'marhobas' di sebuah hajatan yang memiliki ekonomi lebih rendah darinya. Bahkan dia merasa akan mampu membayar tenaga orang yang akan dipergunakan saat melakukan sebuah hajatan.

Faktor selanjutnya adalah, masuknya budaya masyarakat urban ke tengah perkampungan yang berbudaya. Menjamurnya cattering menjadi awal kehancuran kebersamaan untuk melakukan pekerjaan untuk menghadapi pesta adat. Hal ini awalnya ditemuia di kawasan perkotaan, dan kini telah merasuki kehidupan di perkampungan Bangso Batak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline