Raden Mas Suwardi Suryaningrat, yang kini lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, adalah seorang pria yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Di masa mudanya, beliau sangat tertarik dengan dunia jurnalis. Beliau memutuskan menjadi seorang wartawan setelah berkecimpung di dunia obat-obatan. Menurutnya, dunia obat bukanlah dunianya dan menjadi seorang wartawan adalah jati dirinya. Beliau tergolong sebagai penulis handal pada masanya. Tulisannya dikenal sebagai tulisan yang komunikatif, patriotik, dan halus namun tajam, sehingga selalu mampu dalam membangkitkan semangat antikolonial bagi settiap pembaca. Dengan kelihaiannya dalam menulis, beliau bekerja di berbagai surat kabar yang di antaranya Kaoem Moeda, De Express, Sedyotomo, Poesara, Midden Java, Tjahaja Timoer, dan Oetoesan Hindia (Said & Wulandari, 1995).
Dunia jurnalis yang digelutinya sekaligus jiwanya yang merupakan seorang antikolonialisme, mengantarkannya ke dunia pendidikan. Kedua dunianya menyatu yang kemudian menuntunnya untuk menggapai kesetaraan sosial dan politik dalam masa itu, melalui pendidikan. Beliau mulai memperjuangkan kesatuan melalui nasionalisme kultural dan nasionalisme politik. Pada tanggal 3 juli tahun 1922, keteguhannya dalam menggapai mimpi tersebut tercapai dengan berdirinya Perguruan Taman Siswa sebagai tempat guna mendidik masyarakat bumiputra. Keteguhannya dalam memperjuangkan kesetaraan melalui jalur pendidikan membuat beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan diberi gelar sebagai salah satu Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (Hadi & Sutianingsih, 2015).
Perguruan Taman Siswa berdiri dan berjalan dengan berlandaskan dasar kekeluargaan, maka terciptalah hubungan yang erat antara guru dengan muridnya. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa seorang guru mempunyai kewajiban dalam mengajar serta mendidik seorang murid dengan memberikannya ilmu-ilmu pengetahuan. Gaya pendidikan yang digunakan, diharapkan akan mengajarkan seorang anak didik untuk menjadi manusia yang mempunyai adab dan susila. Menurutnya, adab merupakan suatu sifat dari batin manusia yang berisi tentang kesucian, keadilan, kemerdekaan, ke Tuhan-an, cinta kasih, dan lain sebagainya. Di samping itu, kesusilaan menurut Ki Hajar Dewantara, merupakan sifat hidup manusia sejak lahir yang serba halus dan indah hingga sering dijuluki dengan kata-kata yang etis maupun estetis. Tri pusat pendidikan yang ditanamkan oleh beliau di antara lain ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani yang berarti di depan memberikan teladan, di tengah merancang impian, kemudian menyertai dan mendukungnya (Ainia, 2020).
Sikap Ki Hajar Dewantara yang ditanamkan dalam perjalanannya dengan Perguruan Taman Siswa berdampak pada realisasi bahwa ikatan antara guru dan murid dapat terjalin seperti keluarga. Salah satu dari seorang guru pada masa itu memberi kesaksiannya mengenai perbedaan antara Sekolah Gubernemen dengan Perguruan Taman Siswa. Di sekolah tersebut, guru hanyalah seorang pegawai yang berdiri di depan kelas untuk memberikan materi pembelajaran tanpa adanya perhatian khusus kepada murid. Dengan cara mengajar yang seperti ini membuat para guru tidak mengetahui kesulitan yang sedang dialami oleh anak didiknya. Di sisi lain, Perguruan Taman Siswa mempunyai gaya mengajar dan lingkungan yang berlandaskan kekeluargaan. Hal ini kemudian digambarkan seperti hubungan antara seorang anak dengan "bapak" atau "ibu" yang senantiasa memberi nasihat ketika diminta. Hakikat pendidikan bagi Ki Hajar Dewantara adalah menanamkan budaya dalam diri anak dan sebaliknya agar anak dapat menjadi mahluk yang insani di kemudian hari (Suparlan, 2015).
Sikap lain yang patut dicontoh dari seorang Ki Hajar Dewantara adalah kecintaannya pada tanah air yang disertai dengan keberaniannya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dalam perkara nasionalisme, beliau sempat berkiprah dalam dunia politik. Hal ini bermula pada waktu beliau membentuk dan menggerakkan partai politik bersama-sama di era Hindia Belanda teman sejawatnya yang bernama Raden Mas Tjipto Mangunkusumo dan EFE Douwes Dekker. Ketiganya kemudian dikenal dengan panggilan Tiga Serangkai. Partai yang mereka dirikan tersebut diberi nama Partai Hindia atau Indishe Partij yang berjuang dalam melepaskan diri dari belenggu Belanda. Tujuan dari partai tersebut Tujuannya adalah untuk membangkitkan semangat patriotisme di kalangan seluruh penduduk Hindia Belanda terhadap tanah air mereka yang memberi mereka penghidupan. Melalui ini, diharapkan mereka akan terdorong untuk bekerja bersama dengan semangat kesetaraan demi kemajuan Hindia Belanda dan kemerdekaannya. Paham tersebut semula dikenal dengan Indisch Nationalism dengan semboyannya, yaitu "Lepas dari Netherland". Langkah-langkah yang diambil oleh Indische Partij sangat tegas dan revolusioner di usianya yang tergolong masih sangat muda (Soeratman, 1989).
Pada masa ketika Ki Hajar Dewantara berada di dalam Indische Partij, beliau menunjukkan sikapnya yang menjunjung tinggi keadilan. Sikap ini digambarkan dengan sangat jelas ketika Komite Bumiputra mengeluarkan brosur pertamanya yang ditulis oleh beliau sendiri. Tulisan tersebut diberi judul "Seandainya saya seorang Belanda," yang ditulis untuk memberikan reaksi terhadap rencana Pemerintah Belanda yang akan menggelar acara untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Indonesia. Dalam tulisannya, Ki Hajar Dewantara menyampaikan bahwa acara atau pesta tersebut bukan saja tidak adil untuk rakyatnya, namun dinilai sangat tidak patut, jika rakyatnya atau penduduk bumiputera dimintai sumbangan uang untuk keberlangsungan pesta. Menurutnya, hal tersebut merupakan suatu penghinaan lahir dan batin, sangat tidak adil. Buah dari tulisan-tulisan tersebut adalah pembuangan atau pengasingan Tiga Serangkai. Ketiganya diasingkan di tempat yang berbeda, namun kemudian mereka memutuskan untuk mengubah hukuman interniran menjadi eksternir dan memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingan (Wiryopranoto, 2017).
Dari penggalan-penggalan kisah Ki Hajar Dewantara tersebut, kita dapat mempelajari dan mengimplementasikan sikap-sikap yang terus ada pada diri beliau. Sikap tersebut di antaranya adalah mencintai pendidikan, pemberani, cintanya pada tanah air, dan menjunjung tinggi keadilan. Sebagai bangsa Indonesia, sudah sepatutnya kita mencontoh sikap-sikap yang dimiliki beliau, terutama dalam bidang pendidikan. Semakin tinggi pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki oleh kita, maka akan semakin sedikit kemungkinan untuk dipergunakan seperti dahulu kala. Menjadi manusia yang sadar akan pendidikan, dapat menjadi penyelamat tersendiri untuk diri kita dan juga orang lain. Oleh karena itu, terimalah dan pelajari seluruh ilmu pengetahuan yang menghampiri dari berbagai sudut pandang, agar kita sebagai manusia yang sadar akan pendidikan, dapat memiliki kacamata yang lebih luas dalam melihat dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ainia, D. K. (2020). Merdeka Belajar dalam Pandangan Ki Hajar Dewantara dan Relevansinya bagi Pengembangan Pendidikan Karakter. Jurnal Filsafat Indonesia, 3 (3), 95-101.
Hadi, K., & Sustianingsih. (2015). Ensiklopedia Pahlawan Nasional. Yogyakarta: Istana Media.
Said, J., & Wulandari, T. (1995). Ensklopedi Pahlawan Nasional. Direktorat Jendral Kebudayaan.
Soeratman, D. (1989). Ki Hajar Dewantara. Proyek Inventarisasi dan Dokumentadi Sejarah Nasional.
Suparlan, H. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, 25 (1), 56-74.
Wiryopranoto, S., Herlina, N., Marihandono, D., & Tangkilisan, Y. D. (2017). Ki Hajar Dewantara "Pemikiran dan Perjuangannya". Museum Kebangkitan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H