Tepat sehari selepas debat Presiden tahap pertama, muncul berita tentang pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir (ABB). Menurut Yusril Ihza Mahendra (YIM) yang secara langsung bertemu dengan ABB di Lapas Gunung Sindur, Bogor bahwa ABB akan dibebaskan atas pertimbangan kemanusiaan yang telah disetujui Presiden.
Pernyataan YIM tersebut dibenarkan oleh Presiden Jokowi, yang menyatakan ABB dibebaskan karena faktor usia dan kesehatan. Terkait hal itu, sampai dengan tulisan ini dibuat pada tanggal 19 Januari 2019, pemerintah belum menyebutkan mekanisme apa yang akan digunakan terkait pembebasan ABB.
Pasal 15 ayat (1) KUHP menentukan bahwa Terpidana dapat memperoleh pembebasan bersyarat apabila telah menjalankan 2/3 (dua pertiga) dari lamanya penjara yang dijatuhkan kepadanya. Lebih lanjut Pasal 14 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa pembebasan bersyarat merupakan hak Terpidana, dan pengaturannya secara teknis diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999, yang terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, serta Permenkumham Nomor 03 Tahun 2018.
Mengacu kepada informasi dari Penasihat Hukum ABB, Mahendradatta bahwa ABB telah mendapatkan remisi 20 (dua puluh) bulan sehingga ABB telah memenuhi syarat untuk mendapatkan hak pembebasan bersyarat. ABB divonis 15 tahun atau setara dengan 180 bulan, yang kemudian dikurangkan 20 bulan sebagai remisinya, yang menjadikan sisa masa hukumannya tinggal 160 bulan.
Dikarenakan ABB telah menjalani hukuman selama 9 tahun atau setara 108 bulan, maka ABB telah menjalani lebih dari 2/3 dari 160 bulan.
Namun Pasal 84 huruf d Permenkumham Nomor 03 Tahun 2018 memberikan syarat tembahan yaitu Terpidana Terorisme mesti menyesal atas kesalahannya dan berikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal mana ditolak ABB karena beliau merasa tidak bersalah dan hanya mau berikrar setia kepada agama Islam.
Menghadapi kebuntuan tersebut, YIM menyarankan kepada Pemerintah untuk mengartikan setia kepada Islam sama halnya dengan setia kepada NKRI.
Terlepas dari hal itu, apabila memang benar pembebasan ABB semata-mata karena alasan kemanusiaan, Presiden dapat menggunakan kewenangan konstitusionalnya sebagaimana Pasal 14 UUD 1945: "(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat."
Grasi berarti pengampunan Presiden kepada terpidana berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010), sedangkan rehabilitasi berarti pemulihan hak seseorang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili yang tidak sesuai dengan hukum berlaku yang dilakukan Presiden (secara indikatif dapat mengacu kepada pengertian yang tercantum pada Pasal 1 angka 23 KUHAP).
Amnesti bertujuan menghapus semua akibat dari tindak pidana kepada seseorang, yang berbeda dengan abolisi yang hanya meniadakan penuntutan sebagaimana tercantum pada Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti Dan Abolisi.
Kembali kepada alasan kemanusiaan yang diutarakan Presiden bahwa hal tersebut terhubung dengan mekanisme pemberian Grasi, seperti tercantum pada Pasal 6A undang-Undang Grasi "Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak untuk mengajukan permohonan grasi".