Akhir-akhir ini, kisruh persoalan pemecatan 57 anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah ramai diperbincangkan. Pemecatan 57 anggota antirasuah itu terjadi karena tidak lolos dalam pelaksanaan seleksi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Pemecatan terhadap pegawai KPK nonaktif itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 1354 Tahun 2021 tentang Pemberhentian dengan Hormat Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Surat keputusan tersebut ditandatangani oleh Ketua KPK, Firli Bahuri, dan ditetapkan pada tanggal 13 September 2021.
Semua polemik peralihan pegawai menjadi ASN KPK hingga pemecatan 57 anggota KPK berakar dari pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan yang bermasalah.
Muatan soal Tes Wawasan Kebangsaan ini mengandung permasalahan mengenai seksis dan kebebasan beragama. Seharusnya soal Tes Wawasan Kebangsaan ini memuat hal-hal penting, seperti nasionalisme, integritas, bela negara, dan pilar negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa TWK yang dilaksanakan bagi anggota KPK sangat bertentangan dengan soal TWK yang seharusnya.
Pemecatan 57 anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dikatakan sebagai bentuk pelemahan kepada KPK. Sebagai lembaga yang independen, KPK sering disebut sebagai cabang keempat dari Trias Politika yang memiliki separation of power. Status independen pada KPK ini menjadi sasaran bagi para koruptor untuk berusaha melemahkan KPK.
Jika menelisik ke belakang, pelemahan KPK sudah pernah terjadi dengan dilakukannya revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Adanya RUU KPK ini, secara tidak langsung mencederai status independen lembaga antirasuah ini.
Bentuk pelemahan terhadap KPK lainnya, yaitu kriminalisasi terhadap Ketua KPK, Antasari Azhar pada tahun 2009. Kriminalisasi ini dimulai saat Antasari Azhar didakwa melakukan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen.
Setelah bebas, Antasari mengatakan bahwa kasusnya direkayasa. Selain itu, Antasari juga mengatakan SBY sebagai dalang kriminalisasi terhadap dirinya. Namun demikian, pernyataan Antasari tersebut tidak pernah dapat dibuktikan.
Pemecatan 57 anggota KPK dapat dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut terjadi karena sebagaimana yang tercantum di dalam ketentuan Pasal 94 UU Nomor 39 Tahun 1999 yang merupakan praktik diskriminasi dengan dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia ini meliputi upaya pemberhentian pegawai yang seharusnya itu tidak bisa diberhentikan.
Proses hubungan kerja telah diatur bahwa pemutusan hubungan kerja terdapat mekanismenya, sehingga tidak semata-mata diputuskan melalui TWK. Bentuk pelanggaran berikutnya, yaitu muatan materi-materi TWK yang sangat kontroversial. Dua bentuk pelanggaran HAM ini bertentangan dengan UU Nomor 19 Tahun 1999.
Pemecatan 57 anggota KPK melalui tes TWK sangat mirip dengan cara yang dikenal sebagai Tes Litsus ( Penelitian Khusus) yang dilakukan pada era orde baru. Cara ini menggunakan Pancasila sebagai senjata politik untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak sejalan dengan kekuasaan.