Lihat ke Halaman Asli

Rangga Kusumo

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

Demonstrasi sebagai "Oposisi Jalanan"

Diperbarui: 1 November 2019   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fase pembentukan kabinet baru dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf (Kabinet Indonesia Maju) serta bagi-bagi posisi Alat Kelengkapan Dewan (AKD) di parlemen baru saja usai. 

Setelah Gerindra merapat ke pemerintahan, pemetaan kekuatan politik menunjukkan dominasi besar, dimana Gerindra dan koalisi partai pengusung Jokowi-Ma'ruf di parlemen kedepan dimungkinkan akan lebih lancar bekerjasama dengan pemerintah dalam memutuskan berbagai kebijakan. 

Sementara di pihak oposisi, pihak yang terlihat berkomitmen sejak awal hanya PKS saja. PAN dan Demokrat tampak masih belum tegas menentukan posisi, meski kecenderungannya akan menjadi oposisi. Menjadi menarik kemudian untuk diprediksi, bagaimana nasib demokrasi Indonesia setidaknya untuk lima tahun kedepan?

Peran "Oposisi Jalanan" bagi Demokrasi

Dalam demokrasi, fungsi pengawasan kepada eksekutif secara formal memang ada pada legislatif untuk memastikan check and balances. Namun, bisa diprediksi fungsi tersebut sulit untuk berjalan dengan baik dalam lima tahun kedepan disebabkan gemuknya koalisi partai pendukung pemerintah di parlemen, sementara kursi dari PKS sebagai oposisi hanya 8,21 % (50 kursi). 

Kondisi tersebut mengharuskan perlu adanya alternatif skema pengawasan lain yang dilakukan untuk menjaga demokrasi Indonesia agar tetap sehat. Salah satu yang sangat mungkin menjalankan fungsi pengawasan tersebut adalah masyarakat sipil, khususnya mahasiswa.

Gerakan mahasiswa di Indonesia akhir-akhir ini mulai hidup kembali. Setidaknya dalam periode September 2019 telah terjadi serangkaian aksi mahasiswa untuk menolak beberapa perundang-undangan, baik yang akan dibuat ataupun revisi atas undang-undang yang telah ada, khususnya penolakan terhadap RUU KPK yang dinilai menciderai pemberantasan korupsi. 

Tidak tanggung-tanggung, aksi ini dilakukan serentak di berbagai wilayah di Indonesia, dan menemui puncaknya pada Selasa, 24 September 2019 yang melibatkan belasan ribu orang, bertempat di Jalan Jalan Gatot Subroto, Jakarta yang dekat dengan gerbang utama Gedung DPR RI. 

Meskipun terdapat beberapa tindakan anarkis yang berujung pada perusakan beberapa fasilitas umum seperti pagar DPR dan pembakaran Pos Polisi serta catatan tindakan represif aparat keamanan, aksi demonstrasi ini telah memberikan pelajaran berharga bagi demokrasi Indonesia bahwa masyarakat sipil mampu disatukan atas dasar isu dan kepentingan yang sama untuk menjadi "oposisi jalanan" yang melakukan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan.  

Sebagai pembanding, fungsi pengawasan juga ditunjukkan oleh masyarakat Hong Kong dalam aksi demonstrasi menolak RUU Ekstradisi yang diajukan Hong Kong kepada China yang dinilai berdampak buruk bagi kebebasan penduduk Hong Kong. 

Protes ini berjalan bahkan lebih lama dari aksi mahasiswa di Indonesia, yaitu sejak Februari 2019, hingga muncul aksi demonstrasi turun ke jalan pada Maret 2019. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline