Selalu ada alasan untuk memikirkanmu dalam hembusan nafas, dalam tiap langkah kaki, bahkan pada debu yang menempel di ujung jalan. selalu ada cara untuk memulai rindu itu, ketika ada bayang senyummu, atau tawa tipis yang kau lantunkan dengan bibir manis bersama dengan temanmu yang kulihat dan kudengar dari ujung kelas sebelah kanan belakang dari posisi dudukmu.
Selalu ada keinginan untuk menikmati lesung pipi yang menawan pada tiap ekspresi yang kau keluarkan ketika bercanda gurau, bahkan hanya sekedar menarik nafas dalam-dalam.
Aku menjadi penyusup dikelasmu, pada saat kita menentukan mata kuliah yang berbeda. Jeda kelas yang tidak lagi sama, jam kuliah yang tak lagi seirama, membuat intensitas untuk berada dalam satu ruang kelas tidak sesering dahulu.
Akan ada yang semakin menggebu dalam ruang perasaan, akan ada yang mencoba untuk memberontak dan mengakibatkan kekesalan, keresahan, bahkan mungkin akan menjadi belenggu jika tidak segera ditunaikan, yang kita kenal dengan rasa rindu.
Aku tak begitu paham dan mengerti dengan penjelasan yang dipaparkan oleh sang pengampu ilmu, karena ruang ini bukan menjadi fokus jurusanku. Aku disini hanya untuk menunaikan rindu, menuntaskan perasaan yang tiap harinya semakin hebat bagai tugas makalah yang tidak dituntaskan dengan cepat. Biarlah aku menjadi orang paling tolol di dalam kelas ini, orang yang paling tidak tahu tentang etika jurnalistik.
Dari pemaparan sang pengampu ilmu, hanya satu penjabaran yang kutangkap ketika beliau berbicara mengenai konotasi dan denotasi. Yang secara penjelasan yaitu, denotasi adalah arti literal atau primer dari suatu kata dan konotasi adalah gagasan atau perasaan yang menyertai suatu kata di samping makna literal atau primernya.
Mungkin sederhananya bahwa denotasi menjadikan kalimat itu lugas, dan konotasi menggunakan istilah untuk melengkapi kalimat tersebut. Jujur saja, aku tidak begitu paham ketika dua istilah ini digabungkan dengan mata kuliah etika jurnalistik. Bagaimana bisa, dua kata yang sebenarnya mempunyai satu arah yang sama, dipisahkan hanya karena ketidak tegasan salah satunya?
Aku adalah konotasi, mengarah pada tujuan yang satu, yaitu kamu, tapi tidak bisa secara langsung dan terbuka untuk menyampaikan dan memperlihatkan apa yang sedang kurasakan.
Aku menjadikanmu "musuh" didalam ruang diskusi kelas, aku menjadikanmu saingan dalam memperebutkan nila-nilai akademik untuk hanya sebuah angka berskala 4.
Namun kamu harus tau, dibalik semua itu, aku hanya ingin sedikit perhatianmu tertuju padaku, barang satu atau dua menit kamu menyanggah dan menanggapi ide yang keluar dari mulut dan pikiranku, begitupun sebaliknya. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk mendapat sedikit tatapan yang kau palingkan dari hampir lelaki manapun, dan senyuman yang meneduhkan perasaan.